Minggu, 08 Januari 2012

Perekonomian Kesultanan Palembang Abad XVII hingga Awal Abad XIX

Oleh : Farida*

Abstrak
            Tulisan ini bertujuan untuk melihat perekonomian Kesultanan Palembang dari abad XVII hingga awal abad XIX dengan permasalahan “bagaimanakah perekonomian Kesultanan Palembang abad XVII hingga awal abad XIX?”. Kurun waktu di atas menempakan Palembang sebagai salah satu kesultanan penting di Nusantara. Kesultanan ini banyak menghasilkan komoditi yang sangat laku di pasaran dunia yaitu lada dan timah, disamping produk alam lainnya. Sultan dan kaum bangsawan menjadi pelaku sentral dalam perekonomian tersebut. Kondisi menguntungkan ini (penghasil lada dan timah)  membawa Palembang menjadi incaran Belanda dan Inggris. Belanda mengikat Palembang dengan berbagai kontrak, sedangkan Inggris terlibat aktif dalam “perdagangan gelap”.

Kata Kunci : perekonomian, lada, timah, sultan, kolonial Belanda, Inggris.


            Kesultanan Palembang berdiri pada pertengahan abad XVII, tepatnya di bawah kepemimpinan Sultan Abdul Rahman Khalifatul Mukminin Sayidul Imam (1659-1702). Sebelumnya berbentuk kerajaan yang berada di bawah pengaruh Kerajaan Mataram. Perubahan bentuk pemerintahan ini, menandai pula lepasnya Palembang dari Mataram. Sebagai kerajaan yang berdaulat penuh, maka Kesultanan Palembang makin berkembang perekonomiannya. Dengan posisi yang sangat strategis, ditopang pemerintahan yang stabil, Palembang juga banyak menghasilkan komoditi yang sangat dibutuhkan baik oleh pasar dometik maupun internasional.  
            Kondisi ini menjadi dilematis, sebab disatu sisi ini menguntungkan, akan tetapi di sisi lain justru menjadi bumerang yang menempatkan Palembang menjadi incaran bangsa-bangsa  imperialis dunia khususnya Belanda dan Inggris. Dari uraian tersebut muncul pertanyaan “bagaimanakah perekonomian Kesultanan Palembang abad XVII hingga awal abad XIX?”. Penetapan kurun waktu yang panjang, dimaksudkan untuk melihat secara global perkonomian Palembang yang menjadi fenomena menarik bagi bangsa-bangsa kolonialis dunia, sehingga muncul istilah “semahal lada” dan “emas hitam”, untuk mewakili komoditi terpenting dunia yang dihasilkan oleh Kesultanan Palembang. Awal abad XIX adalah puncak terakhir Kesultanan Palembang sebagai kesultanan yang berdaulat.
            Perekonomian masyarakat di Kesultanan Palembang pada umumnya berdasarkan pada pertanian, perkebunan, perikanan, pengumpulan hasil hutan, dan tambang. Pada  abad XVII hingga awal abad XIX hasil pertanian, perkebunan, hasil hutan, tambang dan perikanan digunakan untuk memenuhi kebutuhan sendiri dan sebagian untuk ekspor. Komoditi primadona dari Palembang adalah lada dan timah, tetapi di samping itu masih banyak produk pertanian lainnya (ANRI, Bundel Palembang No. 62.7; Java Gouvernement Gazette, 4 Juli 1812).
Produk Kesultanan Palembang
Awal Abad XV kebutuhan Eropa akan lada meningkat tiga kali lipat. Hal ini menyebabkan tanaman lada berkembang pesat di Nusantara (Bastin, 1960: 9-10). Di Pulau Sumatera lada banyak dihasilkan oleh Pidi, Pasai, Indragiri, Kampar, Pariaman, Indrapura, Silebar, Jambi, Palembang dan Lampung (Leur, 1967: 25-6). Abad XVII  lada merupakan satu-satunya produk paling cocok untuk Eropa. Harga lada pada tahun 1662 mencapai empat real per pikul (ANRI, Bundel Palembang No. 62.2). Tingginya harga lada dan kewajiban menjualnya kepada Vereenigde Oost Indische Vompagnie (VOC) sesuai dengan kontrak yang telah disetujui oleh penguasa Palembang, menyebabkan raja-raja Palembang  mewajibkan rakyatnya menanam lada di daerah uluan (terbesar di daerah Rawas), Bangka dan Belitung. Akibatnya Kesultanan Palembang merupakan salah satu penghasil lada terpenting di Nusantara. Konsekuensinya Palembang makin menarik bagi bangsa Eropa, khususnya Belanda yang mengikat para sultan dengan kontrak-kontrak. Kontrak-kontrak itu isinya semakin mengikat, hal ini mendorong para penguasa Palembang melakukan perdagangan gelap dengan pihak asing seperti Inggris, Amerika, Francis, Cina dan pedagang pribumi lainnya. Di sisi lain pihak Belanda terus berusaha melakukan berbagai macam cara agar lada dari Palembang sepenuhnya hanya menjadi milik mereka.
*Dosen FKIP Universitas Sriwijaya.
            Komoditi lainnya yang sangat penting bagi kesultanan ini adalah timah. Tahun 1709/1710 timah ditemukan di Pulau Bangka, diikuti daerah Belitung, maka sejak itu pula timah menjadi komoditi paling penting (Bangka adalah salah satu penghasil timah terbesar di dunia). Timah khususnya diekspor ke Cina. Akibatnya Belanda pun memperbaharui kontrak tahun 1722 yang menempatkan Belanda sebagai pemegang hak monopoli timah Bangka sekaligus memperkuat monopoli lada[1] (Java Gouvernement Gazette, 4 Juli 1812; Ricklefs, 2005: 154, 157; Woelders, 1975: 75-80;  Kielstra, 1892:79; Stapel. 1940: 97).
Lada dan timah telah merubah sejarah kawasan ini dari wilayah yang sangat strategis dalam bidang perdagangan dan pelayaran sejak zaman Sriwijaya, berkembang menjadi kawasan yang juga menghasilkan produk-produk penting dunia. Hal ini membawa Palembang menjadi salah satu kerajaan besar dengan kekayaan tinggi. Tetapi juga mengundang bencana, karena kondisi di atas membuat bangsa-bangsa bersaing ketat untuk menguasai daerah ini, yang membawanya pada kehancuran.
            Produk lainnya yang dihasilkan oleh Palembang adalah katun (ditanam di lokasi bekas tanaman padi yang telah dipanen), gambir, nila, tembakau (tembakau Ranauw/Ranau sangat disukai dan harganya tinggi), sirih, buah pinang, tarum godong pipit, rami, dan pisang. Buah-buahan yang terkenal adalah mangga, durian, cempedak, jeruk nipis, nanas, jambu bol, jambu biji, pepaya, srikaya, buah nona, langsep, prambeh, duku, rambutan, delima dan bidara.(ANRI, Bundel Palembang No. 62.2; Bundel Palembang No. 62.7; Java Gouvernement Gazette, 4 Juli 1812).
Sedangkan hasil hutan umumnya diekspor, seperti: rotan, getah, damar, damar wangi, kayu laka, lilin, gading gajah, tanduk kerbau, emas pasir, kopi, gula, gambir, pinang, nila, lada, tembakau, rami, tebu, getah naga dan sarang burung. Produk tambang selain timah adalah emas, sulfur, baja[2]. Produk-produk ini dibawa ke daerah-daerah lain di Nusantara, Malaka, Siam, Cina dan Eropa. Sedangkan produk impor meliputi : kain Belanda (Eropa), kain lina dari Pulau Jawa, garam (dari Siam atau yang diproduksi oleh penduduk Palembang sendiri) (ANRI, Bundel Palembang No. 62.7; Java Gouvernement Gazette, 4 Juli 1812; Sevenhoven, 1971: 47), barang pecah belah dari Cina, sutra, benang emas, panci-panci besi, obat-obatan, teh dan manisan (Sevenhoven, 1971: 46). Satu-satunya barang impor dari Eropa yang sangat diminati di Asia Tenggara selama berabad-abad adalah senapan (Reid, 2004: 327).
Wilayah Palembang terbagi atas kawasan dataran tinggi, dataran rendah dan Pulau Bangka-Belitung. Wilayah yang luas ini banyak terdapat sungai-sungai besar dan kecil, rawa-rawa di dataran rendah serta laut/selat yang memisahkan daratan Palembang dengan Pulau Bangka-Belitung adalah kawasan yang sangat kaya akan hasil perikanannya. Itulah sebabnya menangkap ikan merupakan mata pencaharian utama penduduk dan ikan menjadi bahan makanan utama[3]. Sebagai contoh penduduk Sunsang (muara Sungai Musi) menggantungkan hidup mereka sepenuhnya dari menangkap ikan. Ikan-ikan dan udang yang telah dikeringkan dalam bentuk kering, dan terasi dijual ke Pulau Jawa dan pulau-pulau lainnya. (ANRI, Bundel Palembang No. 62.7; Bundel Palembang No. 62.2).
Dari banyaknya produk komersial yang dihasilkan oleh Kesultanan Palembang, maka wajarlah kalau kesultanan ini tidak pernah ditinggalkan oleh bangsa Eropa (Belanda, Inggris)[4]. Dari kontrak-kontrak yang dibuat oleh Belanda sejak abad XVII dan Inggris (Tahun 1812-13 dan 1818) menunjukkan keberadaan Palembang sangat penting bagi kaum kolonialis.
Apa yang telah diuraikan adalah produk uluan dan Bangka-Belitung, bagaimana dengan pusat kerajaan? Ibukota kesultanan Palembang adalah kota Palembang. Sebagian besar tanahnya terdiri adalah dataran rendah. Kondisi demikian tidak memungkinkan penduduk untuk bertani atau mengumpulkan hasil hutan. Itulah sebabnya mereka mengembangkan berbagai kerajinan. Kesultanan Palembang terkenal penghasil berbagai kerajinan, seperti : pertukangan, ukir gading, pandai besi, tembaga, emas. Mereka  mengolah emas dengan sangat indah dan menghasilkan sarung keris (pendok), batang keris (kara) dan perhiasan lainnya. Mereka juga mencampur emas dengan tembaga sehingga menjadi logam yang indah yang disebut swasa (perbandingannya tembaga–emas adalah 5:4), dari campuran ini dibuat kotak sirih dalam berbagai bentuk buah, kotak rokok, sarung keris dan perhiasan lain seperti membuat peti kayu yang dicat indah (ANRI, Bundel Palembang No, 62.2; Paulus, 1918: 182). Hasil-hasil kerajinan ini di ekspor ke Siam, mencapai nilai 500 sampai 1000 ringgit Spanyol atau setara dengan f 3500 sampai f 7000 ringgit Spanyol per tahun. Tembaga hitam adalah campuran tembaga murni dengan emas (perbandingan 10 dengan sebagian emas). Produk yang dihasilkan adalah bunga emas, campuran lain yaitu dua bagian tembaga dengan satu bagian sangsa, maka akan dihasilkan perhiasan yang sangat berkualitas. Belum lagi tembaga itu sendiri diolah dengan teknik perekatan akan diperoleh banyak produk yang sangat baik. Mencampur lima bagian tembaga dengan dua bagian timah (senk) dalam bentuk kuningan, dari sini dapat dibuat lila (meriam kecil), kotak sirih, nampan, ketel teh dan berbagai jenis peralatan rumah tangga.(ANRI, Bundel Palembang No. 62.2). Mereka juga ahli mengolah perak, permata dan gading. Keahlian lain sebagai pesulap, pelukis, tukang kayu dan batu, pembuat sepatu, dan pembuat perahu (Veth, 1867: 654). Berdasarkan laporan de Kock kepada gubernur Jenderal tahun 1821 (seusai penaklukan Palembang) bahwa orang Palembang ahli membuat amunisi, meriam, pengecor kuningan dan pembuat senapan. Pengecor kuningan dan pembuat senapan umumnya orang Cina (ANRI, Bundel Palembang No. 47.6).
Para perempuan umumnya membuat bahan pakaiannya sendiri, juga membuat sarung, penutup kepala, dan pakaian lainnya dengan menggunakan katun Eropa atau semi katun yang dihiasi dengan berbagai motif bunga dan lainnya. Produk mereka sangat menonjol karena sangat berkualitas,  baik dilihat dari warna maupun ketahanannya. Para pengrajin Palembang sangat terkenal dengan keahlian menenun baju dan kopiah Arab dengan benang emas, pelet dan bordir. Contohnya jenis trawangnan dan katun putih sulam kait yang sangat indah. Bahkan benang yang sangat indah dari Padang dan bagian Sumatra lainnya dibuat di Palembang            . Di daerah pedalaman juga terdapat kerajinan katun tapi bahan dan cara pembuatannya masih kasar tetapi kuat (ANRI, Bundel Palembang No. 62.2; Veth, 1867: 654).
Peran Sultan dan Bangsawan dalam Perekonomian Palembang
Sebagai pemegang monopoli perdagangan dengan rakyat, sultan menjalankan sistem perdagangan yang dikenal dengan istilah Tibang (Tiban) dan Tukong (Tukon). Tibang adalah pertukaran wajib barang-barang produk dari pedalaman dengan barang-barang impor. Tukong adalah penukaran barang dari pedalaman dengan uang. Barang-barang yang digunakan untuk tibang adalah baju Jawa, kain Bengala putih, kapak/parang besi dan garam. Barang-barang ini biasanya nilainya dikalikan dengan seratus atau bahkan diselewengkan sampai dua ratus. Diluar produk di atas tidak diperkenankan dimasukkan ke dalam Tibang Tukong, seperti  lada, kopi, lilin, gading gajah, katun, tembakau dan gambir dan terutama beras.(ANRI, Bundel Palembang No. 15.7). Dalam kaitannya dengan tukong, dikatakan bahwa penggunaan uang di Kesultanan Palembang sudah merata. Uang yang beredar umumnya dolar Spanyol, juga mata uang lokal yang dikeluarkan oleh pihak kesultanan, disebut uang pitis (Marsden, 2008: 333) dan uang dukaton (ANRI, Bundel Palembang No. 62.2).
Pada masa pemerintahan Sultan Najamuddin II, ia tidak memungut tibang-tukong sesuai ketentuan yang ada. Terjadi penyimpangan[5], setiap marga ditetapkan untuk menyetorkan  beberapa komoditi yang sebelumnya tidak termasuk ke dalam tibang dan tukong, seperti beras, lada, kopi gambir, lilin, rotan, dan kerbau yang jumlahnya dinaikkan 50-100 real. Hal ini dilakukan dua sampai empat kali setahun (sebelumnya hanya satu kali setahun atau maksimal dua kali setahun) secara rutin sehingga rakyat kehilangan sumber kehidupan sepanjang tahun. Kewajiban ini secara hirarki diserahkan oleh Jenang kepada Depati, selanjutnya Depati mendelegasikannya kepada para proatin, terakhir para proatin membebankannya kepada setiap matagawe yang dibantu oleh orang alingan. Tidak seorangpun bebas dari pajak (ANRI, Bundel Palembang No. 15.7; Bundel Palembang No. 47.6). Kondisi di atas sangat membebani rakyat Palembang.
Hubungan dengan Kolonial Belanda           
Paruh kedua Abad XVIII, kemajuan VOC terhenti[6], akibatnya usaha untuk menguasai Nusantara berakhir dengan ditariknya sebagian kekuatannya. VOC memutuskan untuk membatasi aktivitasnya hanya di daerah Jawa Barat, pantai utara Pulau Jawa dan Maluku. Di Jawa setelah tahun 1757 sampai 1825 tidak terjadi peperangan. VOC pun tidak lagi bersaing ketat dengan bangsa Eropa lainnya di Nusantara, kecuali dengan orang-orang Inggris di Palembang. Pos-pos VOC di Timor, Makasar, Palembang, Padang, dan Kalimantan Selatan pada dasarnya hanyalah sekedar lambang saja atas adanya VOC di daerah tersebut (Ricklefs, 2008: 238).
Perdagangan dan pelayaran VOC di daerah Palembang juga mengalami kemunduran pada sekitar tahun 1780-an. Mundurnya VOC sebagai badan dagang milik Belanda, menyebabkan terjadi pula penurunan penyerahan timah oleh pihak Kesultanan Palembang kepada VOC. Hal ini disebabkan VOC tidak mampu membeli timah[7]. Sultan Bahauddin tidak akan menyerahkan komoditi tersebut kepada kompeni Belanda secara kredit (sesuai kontrak-kontrak yang selama ini berlaku yaitu penjualan secara tunai) dan sultan pun menolak memberikan pinjaman pada kompeni Belanda.  Sebagaimana disinyalir para pejabat di Belanda, bahwa banyak terjadi perdagangan gelap yang membawa VOC makin terpuruk. Perdagangan gelap ini dilakukan oleh pegawai-pegawai VOC, para pedagang Palembang[8], pedagang-pedagang dari Lingga Riau dan orang-orang Bone serta para pedagang kecil pribumi lainnya (ANRI, Bundel Palembang No. 24). VOC tidak mampu lagi memaksa agar dipatuhinya aturan-aturan monopoli sehingga penyelundupan makin marak (Woelders, 1975: 4). Marsden menuliskan bahwa pada tahun 1780-an hanya sepertiga hasil lada dan timah yang berhasil dibawa ke Batavia, selebihnya dijual ke Cina dalam bentuk selundupan (2008: 330). Dari Bangka, lada dan timah terus dibawa ke Malaka dan tempat-tempat lain khususnya Cina. (ANRI, Bundel Palembang No.19). Hal ini menunjukkan bahwa perairan ramai ini seolah “tak bertuan”.
Sebab lain kemunduran VOC adalah makin maraknya perampasan di perairan Selat Bangka dan Sungai Musi oleh para bajak laut (elanong)[9]. Residen Palembang telah berkali-kali mengajukan protes kepada Sultan Muhamad Bahauddin (1776-1804) tentang hal ini. Pihak sultan pun telah berulangkali pula menghalau elanong dari kawasan perairan ini akan tetapi hal tersebut tidak dapat menghilangkannya. Akibatnya, pada tahun 1802 hanya 4280 pikul timah dan 500 pikul lada yang berhasil dibawa dari Bangka (ANRI, Bundel Palembang No.24). Dua tahun berikutnya hasil yang diperoleh dari penjualan timah yang disetorkan kepada Belanda hanya mencapai 16 ribu ringgit, suatu jumlah yang tidak berarti pada waktu itu (Kaiser, 1857: 85).  Sedikitnya timah juga disebabkan kurangnya tenaga kerja untuk bekerja ditambang-tambang timah[10]
Maraknya perdagangan gelap juga dipicu oleh rendahnya harga yang ditetapkan oleh pihak kolonial Belanda. Akibatnya sultan melakukan berbagai cara agar tidak dirugikan oleh berbagai kontrak[11]  antara Kesultanan Palembang dan VOC, salah satunya yang cukup efektif adalah melalui perdagangan gelap. Disisi lain para petualang Inggris sejak lama terus berusaha mendekati para sultan untuk menyelundupkan timah. (dari bulan april sampai September 1800 ada empat kapal Inggris berlabuh atau hanya lalu lalang di selat Bangka, salah satunya adalah kapal perang. Mereka membeli timah (April 1800 kapal Inggris membeli 2500 potong timah dari Raden Jafar) juga memperdagangkan lilin, kayu cendana (terbanyak dari Pulau Timor) yang mereka peroleh dari kawasan timur Nusantara (ANRI, Bundel Palembang No. 19; Ricklefs, 2008: 147).
Sampai menjelang pendudukan Inggris atas Batavia September 1811 kondisi perairan di nusantara yang menjadi wilayah Belanda tetap rawan, faktor penyebabnya antara lain adalah makin gencarnya Inggris memblokade Batavia dan pelabuhan-pelabuhan milik Belanda di pantai utara Pulau Jawa. Inggris berusaha  menghancurkan perdagangan dan wilayah kolonial Belanda serta menghasut orang-orang pribumi agar bangkit melawan, sekaligus bersedia berada di bawah pengaruh mereka. Akibatnya Sultan Badaruddin II dan Pangeran Ratu mengalami kesulitan mengirimkan timah dan lada ke Batavia. Contoh kesulitan besar yang dialami armada Palembang pada saat mengirimkan timah yang hanya seberat 500 pikul ke Batavia, harus menghindari blokade armada Inggris. sebagaimana dilaporkan oleh Said (seorang pedagang Arab). Sekaligus ia menggambarkan besarnya kekuatan armada laut Inggris. Kerugian yang dialami berupa perahu dan muatannya dirampas oleh armada Inggris, sedangkan pihak Belanda menuntut agar produk-produk dari Palembang tetap dikirimkan ke Batavia bahkan ada ancaman bahwa tanpa produk-produk dari Palembang maka kehidupan mereka akan terancam. (ANRI, Bundel Palembang No. 19). Gambaran tentang kondisi perdagangan dan perairan kawasan barat Nusantara akhir abad XVIII hingga awal abad XIX  membawa dampak positif bagi perekonomian Kesultanan Palembang. Sultan-sultan Palembang ikut terlibat maraknya perdagangan gelap dalam jumlah besar sehingga memperoleh keuntungan yang berlipat (Kielstra, 1892: 80).
            Perdagangan gelap mempunyai makna yang berbeda, tergantung dari sudut dan kepentingan mana melihatnya. Bagi kolonial Belanda, perdagangan gelap adalah momok yang sangat merugikan dan harus dihancurkan dengan segala cara. Akan tetapi bagi Kesultanan Palembang, hal ini adalah peluang  untuk keluar dari kungkungan kolonial Belanda dan keuntungan besar bagi kepentingan Palembang, karena pihak kesultanan berperan aktif didalamnya khususnya menjelang akhir riwayat VOC.
Simpulan
            Kurun waktu abad XVII hingga awal abad XIX adalah masa lahir dan berkembangnya Kesultanan Palembang. Perkembangan itu tidak terlepas dari perekonomian kerajaan ini. Perkonomian Palembang terdiri dari pertanian, perkebunan, hasil hutan, perikanan dan pertambangan. Palembang menghasilkan produk primadona dunia yaitu lada dan timah. Kolonial Belanda dan Inggris terlibat baik secara langsung maupun tidak langsung dengan Palembang dalam bidang perdagangan.
Daftar Pustaka
ANRI, Palembang Brieven 1798-1808, Bundel Palembang No.24.
ANRI, Jaarlijksch Verslag van de Residentie Palembang over 1834 en 1835, Bundel Palembang   No.62.2.
ANRI, Extract uit het verbaal gehouden bij Generaal Majoor opperbevelhebber der Palembangsche expeditie en Kommisaris van het Gouvernement aldaar 1821, Bundel Palembang, No. 47.6.
ANRI,Overzicht van het Verhandelde van de Kommisarisen Herman Werner Muntinghe in het Rijks van Palembang nopen deszelfs instellingen finantien  vooruitzichten 1818-1819, Bundel Palembang, No. 15.7
ANRI, Register van zodanige papieren die heden van hier per een expressie voor Batavia aan haar Hoog Edelheedens in alleen eerbied aangeboden werden. Bundel Palembang, No.19.
ANRI, Notulen uit de aparte briven van Palembang ontvangen in 1804 bij wegen van vervolg ged. 26 Oktober tot 30 November en 17 December 1804, Bundel Palembang No. 22.1.
ANRI, Algemeen Jaarlijksch Verslag der Residentie Palembang over den Jaare 1844,
Bundel Palembang, No. 62.7.
Paulus,J., 1918, Encyclopaedie van Nederlandsch Indie, ‘s Gravenhage, Martinus Nijhoff.
________, 1917, Encyclopaedie van Nederlandsch Indie, ‘s Gravenhage, Martinus Nijhoff.
Veth, P.J., 1867, Aardrijkskundige Woordenboek van Nederlandsch Indie, Amsterdam, P.N. van Kamp.
Java Government Gazette, Sabtu, 4 Juli 1812
Erman, Erwiza., 2009, Menguak sejarah Timah bangka-Belitung, dari  Pembentukan Kampung ke Perkara Gelap, Yogyakarta:Ombak.
Furnivall, J.S., 2009, Hindia Belanda, Studi tentang Ekonomi Majemuk, Jakarta: Freedom Institute.
Hall, D.G.E., 1988, Sejarah Asia Tenggara, Surabaya: Usaha Nasional.
Lapian, B. Adrian., 2009, Orang Laut Bajak Laut Raja Laut, Sejarah Kawasan Laut Sulawesi Abad XIX, Depok: Komunitas Bambu.
Marsden, William., 1966, The History of Sumatra, Kuala Lumpur: Oxpord University Prees.
Masyhuri,1983, Perdagangan Lada dan Perubahan Sosial Ekonomi di Palembang 1790-1825, Thesis yang belum diterbitkan, Fakultas Pascasarjana Bid.Studi Sejarah Universitas Indoensia.
Ricklefs,M.C., 2005, Sejarah Indonesia Modern 1200-2004, Jakarta: Serambi.
Reid, Anthony., 2004, Sejarah Modern Awal Asia Tenggara,Jakarta: LP3ES.
Sevenhoven,J.L.van,LukisanTentangIbukotaPalembang, (Terjemahan Beschrijving van de Hooodplaats).
Woelders,M.O., 1975, Het Sultanaat Palembang 1811-1825, Leiden: VKI Publ. No.72.
Bastin, John A., 1953, Palembang in 1811 and 1812, dalam BKI, jilid 109.
Een en Ander over de Bevolking van Banka Hare Bestaansvoorwaarden en Verlichtingen, 1914, jilid 47,  Tijdschrift voor Binnenlandsch Bestuur.
Kemp, P.H, van der., 1898, Geschiedenis van Een Engelschen Raid of Hollandsch Groudgebeid, dalam de Gids, jilid I.
Kielstra, E.B., 1892, De Ondergang Van Het Palembangsche Rijk, dalam de Gids.
Stapel, F.W., 1940, Geschiedenis van Nederlandsch Indie, vijfde deel, Amsterdam,  Joost van den Vondel.


[1] Kontrak pertama dilakukan dengan Belanda tahun 1642.
[2] Baja terdapat di Pulau Belitung, baja dipakai untuk membuat senjata dan peralatan lain (Java Gouvernement Gazette, 4 Juli 1812).
[3] Jenis-jenis ikan yang dihasilkan daerah ini adalah tapa, lemak, lais, tebangalan, patin, bandeng, kluyu, pareh, dalum, blidah, sagaret, arok, toman, tongkol, delak, buju, lele, juara, blutulang, tebangkang dan masih banyak lagi. Ikan-ikan yang menjadi primadona adalah lemak, lais, patin, jangutan, delek, dan kali (ANRI, Bundel Palembang No. 62.7; Bundel Palembang No. 62.2).

[4] Kerajaan Jambi adalah contoh daerah yang ditinggalkan oleh Inggris tahun 1679. Bahkan para pedagang maritim nusantara dari Jawa, Makasar, dan Eropa lainnya tidak lagi berlabuh di pelabuhan Jambi pada awal abad XIX (Locher-Scholten, 2008: 44 dan 48). Sejak pertengahan Abad XVIII sampai Abad XIX Belanda mengabaikan posnya di Jambi (Ricklefs, 2008: 158).
[5] Sultan Najamuddin II tidak memiliki kekayaan karena dengan mundurnya Sultan Badaruddiin II ke uluan (1812) maka  Sultan Badaruddin II membawa harta kekayaan ke pedalaman. Najamuddin II juga kehilangan sumber pendapatan utama (lada dan timah) dengan diserahkannya Pulau Bangka-Belitung kepada Inggris serta blokade dan gangguan keamanan yang dikerahkan oleh Sultan Badaruddin II dari daerah Rawas (Woelders, 1975: 8; Kielstra, 1892 : 82; Kemp,1898: 255).
[6]VOC berdiri awal Abad XVII, organisasi dagang ini terus berkembang. Memasuki Abad XVIII, perdagangan VOC mulai menurun karena rendahnya daya beli masyarakat (Laporan Gubernur Jenderal Van Hoorn) sehingga perdagangan mengalami kerugian. Penurunan juga disebabkan para pegawai VOC ikut terlibat dalam perdagangan gelap dan korupsi. Untuk menutupinya badan dagang ini melakukan peminjaman uang. Tahun 1783 hutang VOC sudah mencapai f 55 juta, dan 12 milyar gulden pada akhir abad XVIII (ANRI, Bundel Palembang No. 22.1; Hall, 1988: 293-4; Furnivall, 2009: 52). 
[7] Berdasarkan laporan residen Palembang pada tanggal 5 April 1788, VOC hanya mampu membeli lada sebesar 2000 pikul, sedangkan yang dijual ke Cina mencapai 20000 pikul setahun (ANRI, Bundel Palembang No.49). Setelah tahun 1787 produksi timah menurun, penyebabnya adalah peperangan VOC dengan raja-raja Riau dan Lingga yang bekerjasama dengan para bajak laut. Akibatnya terjadi penjarahan, penghancuran dan pembunuhan di Bangka (Veth, 1859: 162-3). Tahun 1796 timah Bangka yang dapat dibeli oleh  VOC hanya sebanyak 1400 pikul (Erwiza, 2009: 77). Penurunan volume dagang VOC dapat pula dilihat dari sedikitnya kapal-kapal yang berbendera VOC berlabuh di Palembang pada tahun 1790-1792, hanya sebanyak 20 buah, sedangkan kapal-kapal pribumi dan  asing yang merapat mencapai 374 buah  (Masyhuri, 1983: 107).
[8] Sebagai kerajaan maritim, maka soal hubungan antara raja dengan pedagang merupakan salah satu aspek penting. Raja sering menjadi pemodal bagi pedagang bahkan tidak jarang raja hidup dari hutang-hutang yang diterima dari para saudagar. Sahbandar diistilahkan sebagai “kas sultan” (Faille, 1971: 6). Perdagangan illegal ini juga dipicu oleh perbedaan harga yang cukup jauh antara harga VOC sebesar delapan ringgit per pikul, sedangkan Inggris sanggup membayar dengan harga enam belas ringgit per pikul (Woelders, 1975: 84)
[9] Elanong (Lanun, Ilanun, Iranun) adalah Bajak laut atau perompak laut, berasal dari bahasa Mangindano “I-lanao-en” yang berarti orang dari danau Lanao yang terletak ditengah pulau Mangindanao. Keberadaan kelompok ini di kawasan pantai timur Sumatra sudah berlangsung sejak abad XIV atau bahkan jauh sebelum itu.  Dalam kaitannnya dengan Palembang, dikatakan bahwa berdasarkan sumber Cina pada Abad XV Palembang terkenal sebagai “pusat bajak laut” (Lapian, 2009:127, 137-8). Tokoh bajak laut awal Abad XIX yang paling terkenal di Kesultanan Palembang adalah Raden Jafar. (seorang bangsawan Palembang). Sumber arsip menyebutkan dibutuhkan kekuatan besar untuk menaklukkannya (sampai ribuan serdadu). Kekuasaannya tidak saja di perairan Selat Bangka dan pantai timur Sumatra bahkan sampai pantai laut Jawa. Pos-posnya terdapat di Bangka dan Belitung. Komoditi yang dirampas tidak saja timah atau lada tetapi juga beras yang sangat diperlukan bagi kehidupan para pekerja tambang di Bangka (ANRI. Bundel Palembang No.19 dan Bundel Palembang No. 24). Tokoh lain adalah Panglima Raja (Belitung), wilayah jelajahannya bahkan sampai Cirebon pantai utara Pulau Jawa (ANRI, Bundel Palembang No. 24).  



[10] Jumlah penduduk Bangka sedikit dan tidak ahli dalam mengolah timah, itulah sebabnya tenaga kerja didatangkan dari Cina. Jumlah penduduk yang terbatas ini semakin berkurang dikarenakan wabah penyakit yang sering melanda, tahun 1804 elanong membawa penyakit menular ke Bangka, sehingga penduduk tersisa hanya sepuluh persen. (ANRI, Bundel Palembang No. 24; Een en Ander.., 1914: 397-8).

[11] Kontrak-kontrak yang terjadi antara Palembang dan VOC terjadi pada Tahun 1642, 1662, 1678, 1679, 1681,  1722, 1755, 1763, 1775 dan 1791 (Paulus, 1917: 162).

SIMBUR CAHAYA SEBAGAI PEREKAT BUDAYA MASYARAKAT SUMATERA SELATAN


Oleh : Farida[2]

Kebudayaan selalu mengalami dinamika, ada beberapa aspek yang luntur dan hilang, bercampur, menerima pengaruh dari luar, dan berbagai fenomena perubahan lainnya. Secara teoritis perubahan kebudayaan akan sama bentuknya, hanya saja terjadi di berbagai lingkup kebudayaan yang berbeda-beda. Sebagai bahan kajian yang menarik untuk ditelisik adalah nilai-nilai budaya dalam “simbur cahaya” sebagai perekat kebudayaan masyarakat Sumatera selatan yang mengalami transformasi karena berbagai pengaruh unsur kebudayaan luar. Proses perubahan kebudayaan itu terus berlangsung hingga sekarang, sebagaimana juga perkembangan kebudayaan daerah lainnya di Indonesia. Sebagai bagian dari Nusantara yang tengah berubah, provinsi Sumatera Selatan dalam mengembangkan dan membina budaya daerah berakar pada nilai-nilai luhur “Simbur Cahaya”. Untuk itu, dalam rangka membahas persoalan-persoalan sosial, budaya, sejarah dan kemasyarakatan di provinsi Sumatera Selatan sekarang ini, penulis mencoba mengaitkannya dengan nilai-nilai Simbur Cahaya.

Simbur Cahaya adalah undang-undang yang dikeluarkan oleh Ratu Sinuhun, sehingga disebut pula Undang-undang Ratu Sinuhun. Ratu Sinuhun adalah permaisuri dari penguasa Palembang, Pangeran Sidang Kinayan (memerintah 1616-1628). Ratu Sinuhun terkenal sebagai perempuan cerdas. Ia banyak melakukan berbagai hal dalam usaha mengatur pemerintahan dan membuat peraturan bagi penduduk Palembang.  Atas jasa-jasanya undang-undang itu dikenal dan dipakai oleh penduduk kerajaan Palembang. Pada perkembangannya undang-undang ini tetap dipertahankan dalam bentuk hukum adat (“Oendang-oendang Simboer…”, 1892:3).
Undang-undang Simbur Cahaya terdiri dari enam bab yaitu bab I tentang Aturan Bujang Gadis dan Kawin (32 pasal), bab II memuat Aturan Marga (29 pasal), bab III berisi Aturan Dusun dan Berladang (34 pasal), Bab IV tentang Aturan Kaum (19 pasal), dan bab V tentang Adat Perhukuman (58 pasal), serta bab VI tentang Aturan Bahagi Uang Denda (6 pasal). Bab I memuat tentang berbagai hal yang menyangkut hubungan laki-laki dan perempuan khususnya bujang, gadis dan janda yang akan menikah atau menikah kembali bagi janda. Apabila akan memasuki perkawinan harus ada pemberitahuan kepada pasirah atau kepala dusun yang disebut terang, pelanggaran atas hukum tersebut, misalnya melarikan anak gadis akan dikenai denda sebesar tiga ringgit. Denda akan semakin tinggi, apabila terjadi hamil diluar nikah, akan dikenai denda sebesar 12 ringgit, dan wajib dinikahkan dengan mengundang berbagai pihak yang disebut adat terang. Hukuman menjadi semakin berat jika gadis atau janda hamil tanpa diketahui siapa yang harus bertanggung jawab. Dalam kondisi demikian, korban harus di panjing yaitu di rumah pasirah selama maksimal tiga tahun, kecuali keluarga korban sanggup membayar denda sebesar  12 ringgit. Angka-angka yang disebutkan di atas bukan jumlah sedikit untuk ukuran pada waktu itu dan harus ditanggung oleh pihak keluarga pelaku yaitu laki-laki. Bentuk hukuman tersebut membuat orang sangat berhati-hati dalam bertindak yang menyimpang dari norma, karena keluarga pelaku akan dirugikan baik secara materil maupun immaterial (Hanifah, 1994: 1-4).
Hubungan laki-laki dan perempuan sangat terjaga, contohnya laki-laki yang menyenggol gadis atau janda akan dikenai denda sebesar dua ringgit, denda itu naik dua kali lipat apabila laki-laki memegang lengan gadis atau janda. Jumlah yang sama harus dibayarkan oleh bujang jika ia mengelilingi rumah gadis yang ditaksirnya sambil meniup seruling, sedangkan gadis yang ditaksirnya tidak berkenan. Hukuman denda akan semakin tinggi, sesuai dengan tingkat perbuatan yang tidak menyenangkan oleh laki-laki terhadap perempuan hingga mencapai 12 ringgit, bahkan tidak jarang pihak laki-laki harus membayar sebesar 24 ringgit pada istri orang yang dilarikannya (Hanifah, 1994: 5-7).       
Inilah nilai-nilai yang terkandung di dalam Undang-undang simbur Cahaya yang sudah dipakai sejak abad XVII. Undang-undang itu telah mendasari kehidupan sosial masyarakat (Gersen,1876:108) Sumatera Selatan selama sekitar empat ratus tahun hingga sekarang. Meskipun demikian, nilai-nilai itu semakin luntur tergerus oleh zaman. Semakin lama hubungan antara laki-laki dan perempuan khususnya bujang dan gadis semakin bebas. Di kota Palembang, selama beberapa tahun terakhir telah berkembang sebuah fenomena dalam mengekspresikan cinta dengan cara-cara yang dianggap tabu pada masa-masa sebelumnya. Contohnya jalan berdua saling berpegangan tangan, berangkulan ditempat-tempat umum.
Ketentuan lain dari undang-undang tersebut dinyatakan bahwa penduduk dusun bawah pimpinan pasirah (kepala marga) dan krio (kepala dusun) wajib   memelihara jalan-jalan, jembatan, parit, dan lainnya. Orang-orang yang menolak ketentuan tersebut dikenai denda tiga ringgit atau membayar orang untuk menggantikannya. Ketentuan lain adalah perlunya bagi setiap orang yang akan melakukan perjalanan ke daerah lain untuk memegang cap, yaitu cap atau tanda yang dikeluarkan oleh pasirah sebagai bukti atas status orang tersebut. Jika pemegang cap melakukan tindakan tercela, maka pasirah ikut bertanggung jawab atas perbuatan tersebut. Kontrol sosial tersebut sangat efektif untuk memaksa orang tunduk pada ketentuan yang ada. Di samping itu, pasirah juga mengatur berbagai hal lain yang menyangkut kehidupan masyarakat yang berada di bawah pimpinannya. Dengan demikian, Pasirah adalah sosok yang sangat dihormati di marganya, mempermalukan pasirah berarti keluarga besar pelaku penyimpangan akan dikucilkan oleh penduduk di marga tersebut (Hanifah,1994 :1-32).
Nilai-nilai tersebut pada saat ini semakin terkikis, orang-orang akan dengan gampang melakukan tindak kejahatan tanpa ada rasa takut. Hukum positif yang dijalankan belum mampu memaksa penduduk tunduk pada ketentuan tersebut. Peran lurah atau kepala desa sebagai perpanjangan pemerintah, menyebabkan “posisi tinggi” sudah bergeser. Di daerah-daerah kabupaten di Sumatera Selatan, posisi kepala desa menjadi strategis dalam membujuk rakyat agar menyerahkan tanah-tanah atau perkebunan milik mereka untuk dijadikan perkebunan-perkebunan milik pemodal besar. Penduduk juga tergiur ingin mendapatkan uang dengan cara cepat demi memenuhi kepentingan-kepentingan sesaat yang bersifat materi, antara lain membeli alat eletronik, sepeda motor, perhiasan dan lainnya yang bersifat konsumtif.
Pada bagian ini juga adanya larangan keras untuk tidak menebang kayu-kayu yang berkualitas, misalnya klutum, kulim, tembesu, ngerawan. Ketentuan tersebut telah lama hilang, hutan-hutan yang terdapat di Sumatera selatan semakin terkikis. Hutan-hutan ditebangi dengan mesin-mesin yang memudahkan mereka melakukan hal tersebut dalam waktu singkat. Kayu-kayu yang telah ditebangi akan dihanyutkan, dinaikkan di atas motor sungai atau rakit ke ibu kota Palembang melalui sungai-sungai yang banyak terdapat di Sumatera Selatan yang dikenal dengan nama batanghari Sembilan[3]. Agar balok-balok kayu yang dihanyutkan berhasil sampai ibu kota, terjadi transaksi antara pemilik kayu dan polisi air yang menjaga perairan tersebut. Ada istilah yang berkembang di sana yaitu “pengusaha kayu, main kayu”, maksudnya, para pengusaha kayu akan melakukan berbagai cara mulai dari lunak sampai kekerasan sebagaimana “kayu” yang keras demi mencapai tujuannya. Tujuan tersebut adalah mendapatkan hutan, menebang, membawanya ke lokasi penjualan dan memperoleh keuntungan besar dari usahanya tersebut.
Masalah lain yang menonjol di Provinsi Sumatera Selatan adalah sengketa perbatasan, contohnya perbatasan antara Kabupaten Ogan Ilir dan Kabupaten Muara Enim, Kabupaten Musi Banyuasin dan Muara Rawas, juga Kota Palembang dan Kabupaten Ogan Ilir. Masalah itu marak seiring dengan diberlakukannya undang-undang otonomi dan masing-masing daerah berusaha melakukan pemekaran daerah. Seiring dengan pemekaran tersebut muncul pula masalah perbatasan yang selama ini tidak menyeruak kepermukaan. 
Maraknya pembukaan perkebunan dan pabrik-pabrik pengolahan di Sumatera Selatan (sawit, karet, jarak), menimbulkan gesekan dengan penduduk di sekitar lokasi tersebut. Kasus terakhir yang masih marak adalah konflik di desa Sodong Kecamatan Mesuji Kabupaten Ogan Komering Ilir. Konflik itu berawal dari janji yang diberikan oleh PT. SWA (Sumber Wangi Alam) pada 2005-2007 kepada penduduk di sekitar lokasi perkebunan sawit, untuk memberikan saham kepada mereka. Janji itu sampai awal 2011 belum ditepati. Warga menuntut janji-janji tersebut, dan tuntutan itu berakhir dengan konflik yang menyebabkan dua warga terbunuh. Peristiwa itu dibalas oleh warga dengan membunuh lima orang satpam PT. SWA. Konflik ini berlarut, dan pemerintah melibatkan aparat keamanan untuk mengendalikan situasi. Kehadiran dan tindakan aparat keamanan membuat warga ketakutan dan masalah ini sampai sekarang masih terus berlangsung (Wawancara dengan Hendra Jamal, wartawan radio Smart Fm Palembang pada 5 Desember 2011) .
Konflik yang menyangkut tanah, juga tidak dapat dilepaskan dari belum adanya pengakuan “hak Ulayat”[4] dari pemerintah. Pemerintah berpatokan pada ketentuan harus ada surat-surat pengakuan resmi atas tanah yang mereka kelola.
Bab III yang membahas tentang Aturan Dusun dan Berladang. Dusun dipimpin oleh krio atau pembarap, ditiap dusun terdapat pula kemit yaitu kelompok yang terdiri dari dua sampai delapan orang yang bertugas menjaga keamanan dusun selama 24 jam. Kemit yang berhalangan menjalankan tugasnya dikenai denda sebesar satu ringgit, di samping itu, kemit yang bersangkutan juga berkewajiban membayar upah kepada orang yang menggantikannya. Kemit juga dikenakan hukuman panjing (bekerja membantu pekerjaan di rumah pasirah), apabila ia tidak mengetahui ada pencuri masuk ke dalam wilayah tugasnya, atau ada rumah yang dibakar oleh penjahat. Tugas kemit lainnya adalah memeriksa surat pas (sejenis surat keterangan yang dikeluarkan oleh pasirah) setiap orang asing yang masuk ke wilayah tugasnya. Selain itu, orang yang menerima tamu asing tanpa izin dari kemit, dikenai denda sebesar satu sampai empat ringgit. Berbagai ketentuan yang rinci tersebut dan kepatuhan penduduk pada peraturan-peraturan itu menyebabkan keamanan penduduk sangat terjamin. Sekecil apapun peristiwa yang terjadi di tiap dusun dengan cepat akan diketahui oleh kemit. Hal itu tidak terlepas pula dari kecilnya wilayah dan sedikitnya jumlah penduduk yang harus diamankan oleh para kemit.
Dihubungkan dengan kondisi sekarang, kemit yang dimaksud dapat disamakan dengan “petugas jaga” yang dibayar secara swadaya oleh warga setempat. Akan tetapi, sejauh ini ketentuan tentang kewajiban penduduk untuk melaporkan tamu yang datang dan menginap di rumahnya tidak terlaksana. Tidak berjalannya ketentuan tersebut tidak dapat dilepaskan dari tidak adanya peringatan apalagi sanksi dari petugas jaga, ketua rukun tetangga (RT), dan ketua Rukun Warga (RW). Di lain pihak, warga yang menerima tamu juga melakukan hal yang sama. Akibatnya, kurang ada kontrol terhadap orang-orang yang masuk dan keluar dari suatu daerah. Kurangnya kotrol tersebut, menyebabkan maraknya peredaran narkoba di kampung-kampung, dan perkotaan sulit dipantau tanpa adanya keinginan besar untuk menertibkan “tamu-tamu” yang keluar masuk daerah tertentu.
Masalah kebakaran juga menjadi bahasan penting dalam Undang-undang Simbur Cahaya, disebutkan dalam bab III, pasal 13 dan 14 sebagai berikut:
Jika orang punya rumah terbakar sebab kurang jaga, tetapi tiada ada orang lain punya rumah milu (ikut) celaka, maka orang yang punya rumah terbakar  kena denda enam ringgit.
Jika orang punya rumah di dalam dusun terbakar sebab kurang jaga, lantas dusun mutung (terbakar), maka orang itu kena tepung dusun (ganti rugi): kerbau satu, beras 100 gantang, kelapa 100 biji, gula 1 guci. Itulah jadi sedekah kepada orang banyak (Hanifah,1994:14).

Besarnya ganti rugi yang harus dikeluarkan oleh pihak yang terbakar rumahnya, menyebabkan warga sangat berhati-hati. Rumah-rumah di Sumatera Selatan pada waktu itu umumnya terbuat dari kayu dan bertiang. Dengan demikian material tersebut mudah terbakar, namun jarak antarrumah cukup jauh sehingga lebih mudah untuk memadamkan api jika terjadi kebakaran.
Kondisi tersebut bertolak belakang dengan kondisi sekarang. Jarak rumah sangat dekat, khususnya di kota-kota besar di provinsi ini. Rumah-rumah penduduk berhimpitan satu sama lain. Gang-gang yang sempit menyebabkan mobil pemadam kebakaran sulit memadamkan api karena tidak mampu menjangkau lokasi tersebut. Bahkan berkembang kabar bahwa di daerah pemukiman padat penduduk, kebakaran sengaja “diciptakan” atau penanganannya lambat agar lokasi tersebut dapat dimafaatkan untuk membangun pusat perdagangan atau perumahan.
Ketentuan lain dalam Undang-undang Simbur Cahaya, yaitu adanya larangan bagi penduduk yang membuka ladang di pinggir sungai, untuk membuang batang kayu yang sudah ditebang ke sungai. Bagi yang melanggar dikenai denda satu sampai enam ringgit. Warga juga dilarang menjual hasil tanaman yang belum tua atau matang, misalnya: kapas, padi. Ketentuan-ketentuan lain adalah cara membakar lahan agar tidak merugikan pihak lain yang berdekatan, ketentuan memelihara binatang ternak, larangan membunuh ikan dengan racun (putas) dan lain-lain. Setiap pelanggaran dikenai sanksi, umumnya denda uang yang besarnya tergantung dari berat-ringan kesalahan pelaku. Hukuman berat akan dihadapkan langsung kepada raja/sultan. Berbagai ketentuan tersebut sangat besar pengaruhnya terhadap kelestarian hutan, sungai dan produksi tanaman.
Pada masa sekarang hukum positif tidak mampu menekan, apalagi menghapuskan berbagai ketimpangan yang akan merusak Sumber Daya Alam (SDA). Berdasarkan data LSM Walhi Sumatera Selatan diketahui bahwa dalam kurun waktu 1998—2011 terdapat 268 kasus yang menyangkut SDA di sektor kehutanan dan perkebunan. 
 Bab IV memuat ketentuan Aturan Kaum, disebutkan bahwa ditingkat marga, lebay penghulu berwenang mengurus masalah perkawinan, perceraian, waris, zakat, fitrah, memelihara masjid, langgar, keramat (kuburan tokoh), dan mengafani mayat. Lebay Penghulu dalam menajalankan tugasnya dibantu oleh khatib dan kaum. Pasirah dan Lebay Penghulu wajib memelihara anak yatim piatu hingga berusia 14 tahun. Dengan demikian, posisi lebay penghulu dan aparatnya sangat strategis menangani masalah-masalah yang berhubungan dengan agama Islam. Ketentuan memerihara anak yatim, sangat bermanfaat sehingga tidak terdapat anak-anak yang terlantar di wilayah Palembang.
Kondisi tersebut tampaknya tidak banyak berbeda dibandingkan dengan masa sekarang. Masalah yang menyangkut hal-hal di atas ditangani oleh Kantor Urusan Agama (KUA) di tingkat desa-desa. Akan tetapi, masalah anak yatim piatu, penanganannya diserahkan pada keluarga dari anak-anak tersebut. Hal ini dimungkinkan karena biasanya anak-anak yatim piatu diurus oleh keluarga mereka masing-masing, baik dari pihak ayah atau ibu mereka. Di samping itu, sebagian dari mereka ditangani oleh panti-panti asuhan yang umumnya terdapat di kota-kota. Pihak pemerintah juga menyediakan panti sosial bagi anak-anak terlantar, namun keberadaan panti-panti tersebut belum mampu menangani masalah anak-anak yatim, yatim piatu, dan anak-anak terlantar. Akibatnya, tidak jarang sebagian dari mereka berada di jalan-jalan, pasar dan tempat-tempat kumuh menjadi pengemis atau pedagang asongan. Banyaknya anak-anak terlantar menimbulkan masalah sosial berupa perkelahian atau bahkan pembunuhan, pencurian, narkoba, pergaulan bebas dll. Di dusun-dusun Sumatera Selatan tingkat pendidikan penduduk rata-rata tamat SD (lama sekolah 7,6 tahun/2009). Bagi sebagian penduduk yang penting dapat “baca-tulis” karena  sulit bagi mereka ntuk melanjutkan pendidikan ke tingkat SMP. Kecilnya kemungkinan melanjutkan pendidikan, menyebabkan mereka berpatokan “untuk apa sekolah sampai tamat, kan tidak bisa juga melanjutkan sekolah”. Sekolah gratis yang dicanangkan oleh pemerintah, pada pelaksanaannya masih terdapat berbagai pungutan dan mereka juga kesulitan untuk menyediakan seragam dan buku-buku sekolah.
Bab V tentang Adat Perhukuman, dalam bab ini memuat ketentuan tentang berbagai bentuk penyimpangan dan hukumannya, namun terdakwa berhak mengajukan keberatan pada penguasa mulai dari pasirah sampai raja/sultan. Pembunuhan, menyerang dengan senjata, merampok, perkaranya harus diselesaikan oleh raja/sultan. Sementara itu, masalah lain seperti : berkelahi dihalaman rumah sesorang, maka yang berkelahi dikenai denda 2 ringgit-6 ringgit, berkelahi di depan pemilik rumah dan yang bersangkutan tidak berkenan sehingga mengadu pada yang berwenang, maka yang memulai melakukan pemukulan dikenai denda 2 ringgit. Berkelahi di dalam rumah orang, dikenai denda lebih besar yaitu 4 ringgit. Denda itu bertambah 6 sampai 12 ringgit yang harus diserahkan oleh orang-orang yang berkelahi kepada pasirah atau krio. Berkelahi dengan menggunakan senjata tajam, didenda 6 sampai 12 ringgit, ditambah biaya untuk mengobati yang luka akibat senjata tajam tersebut. Denda dan dana yang harus diserahkan oleh pihak yang menyerang sehingga mengakibatkan cacat jauh lebih besar. Orang yang berbicara kasar pada orang lain dan memaki-makinya, maka pelaku harus menyerahkan beras, kepala, ayam satu ekor, dan sirih kepada orang yang dikasarinya. Pencuri di denda dua sampai dua belas ringgit, dan wajib mengembalikan barang-barang yang telah dicuri. Begitu pula jika seseorang menemukan benda tertentu, maka ia harus menyerahkannya kepada kepala dusun dan selanjutnya diumumkan tentang adanya penemuan tersebut. Apabila ada orang terbunuh di dusun tertentu, sedangkan pembunuhnya tidak diketahui, maka kepala dusun harus segera melaporkannya kepada pasirah. Dalam masalah waris, harta menjadi hak dari suami/istri dan anak-anak. Undang-undang Simbur Cahaya memilah berbagai kejahatan dan hukumannya masing-masing, begitu pula dalam hal waris ditetapkan secara adil.
Pada masa sekarang ini, berbagai bentuk kejahatan berkembang sedemikian rupa tanpa memandang tempat. Dengan makin banyaknya jumlah penduduk dan makin sedikitnya lapangan kerja, serta terbatasnya petugas keamanan, menyebabkan penyakit-penyakit sosial berkembang di masyarakat. Orang-orang harus berjuang untuk menyelamatkan diri karena kurangnya perlindungan dari aparat.
Bab VI tentang Aturan Bahagi Uang Denda. Pada bab terakhir ini, ditetapkan berbagai ketentuan yang menyangkut denda. Denda merupakan intrumen terpenting yang ditetapkan dalam Undang-undang Simbur Cahaya, kepada para pelanggar dalam tata kehidupan masyarakat. Selain denda ditetapkan pula hukuman yang disebut dengan istilah panjing. Denda dan panjing menjadi bentuk hukuman yang efektif dalam membina masyarakat agar patuh.
Hukum positif yang diterapkan oleh pemerintah, belum mampu melindungi masyarakat, sehingga bebas dari rasa takut. Ada kecenderungan masing-masing penduduk harus “menyelamatkan” diri dan keluarganya dari berbagai berbagai bentuk kejahatan.

Masalah Aktual
Masalah-masalah aktual dalam masyarakat antara lain ;
1.      Pendidikan, sekolah gratis yang dicanangkan oleh pemerintah provinsi sejak tahun 2008 menimbulkan beberapa ekses, antara lain: sekolah-sekolah sulit mengembangkan diri karena tidak memiliki dana, sedangkan pemerintah melarang pihak sekolah menghimpun dana dari wali murid.
2.      Sebagian sekolah atau guru masih mengutip dana dari siswa, sehingga dikeluhkan oleh para wali murid dengan banyaknya kutipan yang harus dipenuhi oleh para wali murid.
3.      Sebagian wali murid masih mengalami kesulitan membeli buku-buku pelajaran sekolah, apalagi adanya ketentuan harus membeli di koperasi sekolah/guru (penerbit berhubungan langsung dengan guru).
4.      Pada sekolah-sekolah unggulan (tiga sekolah unggulan di kota Palembang), biaya yang ditetapkan tinggi sehingga membebani orang tua murid khususnya yang tidak mampu.
5.      Banyak sekolah yang kurang layak untuk tempat belajar karena banyak mengalami kerusakan.
6.      Penempatan guru kurang merata, guru menumpuk di ibu kota provinsi atau ibu kota kabupaten/kota.
7.      Kurangnya fasilitas pendidikan.
8.      Sebagian guru mengikuti jenjang pendidikan yang lebih tinggi, cenderung hanya mengejar nilai bukan kualitas.
9.      Kurangnya pengayaan yang bersifat lokal, sehingga muatan lokal kurang mencerminkan budaya lokal setempat. Contohnya: muatan lokal diisi dengan pelajaran prakarya, bahasa Arab dll.
10.  Materi sejarah lokal belum diberikan di sekolah-sekolah dari tingkat SD-SMA, dan PT, sehingga murid-murid dan mahasiswa tidak mengenal sejarah Palembang dan Provinsi Sumatera Selatan.

Seni Budaya
Sesuai dengan misi di bidang budaya, maka tujuan yang akan ingin dicapai adalah “mewujudkan daerah yang mempunyai budaya daerah yang kuat dan berakar pada nilai-nilai leluhur yaitu mengembangkan dan melestarikan budaya daerah”. Dari tujuan tersebut sasarannya adalah: “mewujudkan daerah yang mempunyai jati diri sejati yang tidak luntur dengan kemajuan ekonomi dan teknologi, serta pengeruh budaya baru”, dengan sararan yaitu terwujudnya daerah tujuan wisata berbasis warisan budaya leluhur dan sumber daya daerah yang mampu mengangkat harkat, martabat masyarakat.
            Seni tradisional di Sumatera Selatan kurang berkembang, hal itu disebabkan oleh:
1.      Kurangnya perhatian dari pemerintah terhadap seni budaya, sehingga tergilas oleh kemajuan zaman.
2.      Para pejabat yang menangani masalah seni budaya, kurang berkompeten di bidang tersebut sehingga penanganan di bidang ini terkesan asal jalan, belum ada perencanaan yang jelas.
3.      Pemerintah dan DPR kurang peduli terhadap pembinaan seni budaya, terbukti dari minimnya alokasi dana yang dianggarkan untuk seni budaya. Hal itu berbanding terbalik jika dibandingkan dengan dana untuk olah raga atau lainnya.
4.      Kurangnya kesadaran menempatkan seni sebagai bentuk mempertajam tatanan sosial yang mengedepankan idealism berkesenian.
5.      Kurangnya even-even seni tradisional, jika terdapat even-even besar yang digelar di provinsi ini, justru kurang melibatkan  seniman-seniman lokal. Pemerintah lebih memilih untuk menyerahkannya kepada pekerja seni yang kurang memahami filosofi dan makna kesenian Sumatera Selatan. Akibatnya banyak ciri khas yang hilang dan bercampur dengan budaya daerah lain.
6.      Seni tradisional kurang peminat, karena penyajiannya kurang menarik.
7.      Masyarakat cenderung memilih seni kontemporer dan elektrik, karena lebih menarik (semata-mata untuk menghibur), dan dapat diperoleh kapanpun dengan harga murah. Pengaruh globalisasi di bidang seni budaya sangat kuat di kalangan generasi muda (www.trijayafmplg.net).

Bahasa

Di Sumatera Selatan terdata sebanyak 713 bahasa daerah, sebagian kecil sudah punah. Terdapat puluhan bahasa daerah yang aktif digunakan oleh pendukungnya dalam kehidupan sehari-hari. Bahasa-bahasa tersebut antara lain: Bahasa Palembang, Komering, Ogan, Lematang, Musi dll.
            Terdapat dua faktor yang menyebabkan berkurangnya menutur bahasa daerah, yaitu kurangnya rasa percaya diri, jika menggunakan bahasa daerah dalam kehidupan sehari-hari. Faktor lain adalah adanya pengaruh budaya global yang mendesak budaya lokal. Contohnya pada sebagian kalangan menengah di kota Palembang, menggunakan bahasa Indonesia/Jakarta atau bahkan bahasa Inggris dalam percakapan sehari-hari dengan putera-puteri mereka sejak kecil. Hal itu dilakukan dengan alasan “agar anak tidak kagok nanti di sekolah” padahal kedua orang tua tersebut orang asli Palembang. Sementara itu, di ibu kota-ibu kota kabupaten dan kota, sebagian orang tua menggunakan bahasa Palembang bukan bahasa lokal dalam percakapan sehari-hari dengan anak-anak mereka. Jadi, ada perambahan bahasa terhadap kota-kota besar di Sumatera Selatan.  

Pelestarian Peninggalan Kesultanan Palembang

Kesultanan Palembang (abad XVI—XIX) merupakan kesultanan terakhir yang dimiliki oleh Palembang atau Provinsi Sumatera Selatan sekarang ini. Sejak 1825 Kesultanan dihapuskan dan sepenuhnya dikendalikan oleh pemerintah kolonial Belanda. Sampai saat ini masih banyak peninggalan dari masa Kesultanan Palembang yang menjadi asset bagi pemerintah kota dan provinsi. Diantara berbagai peninggalan tersebut[5] tersebut yang terpenting adalah keraton Kuto Besak yang sekarang dikenal dengan nama Benteng Kuto Besak (BKB). Keraton ini didirikan oleh Sultan Muhammad Bahauddin  (1776-1804) pada 1780. Sejak berdiri sampai jatuh ke tangan Belanda pada 1821, keraton ini menjadi keraton terpenting dan terbesar. Sejak dikuasai Belanda, maka keraton digunakan untuk menempatkan barak-barak serdadu, rumah sakit sekaligus sebagai benteng pertahanan, dan dinamai benteng Kuto Besak (Veth, 1869: 656-67). Penamaan inilah yang masih digunakan sampai dengan sekarang. Setelah Indonesia merdeka, bangunan tersebut diambilalih oleh pihak militer dan fungsinya tidak jauh berbeda dibanding pada masa kolonial.
Sejak tahun tujuh puluhan sudah ada usaha-usaha berbagai pihak untuk mengembalikan fungsi keraton dan menjadikannya sebagai asset budaya. Akan tetapi sampai sekarang usaha tersebut belum berhasil. Menjelang PON XVI (2004), pemerintah kota Palembang berhasil merubah kawasan di depan keraton Kuto Besak dan Museum Sultan Mahmud Badaruddin II (dulunya kantor dan kediaman residen Belanda), dari kawasan kumuh menjadi pelataran yang bersih dan indah. Semoga keinginan sebagian besar warga Sumatera Selatan khususnya Palembang agar Benteng Kuto Besak dikelola oleh pemerintah kota/Provinsi, untuk dijadikan sebagai asset budaya yang potensial.   

Kisruh Pewaris Kesultanan Palembang
Berdasarkan musayawarah adat Palembang Darussalam pada 2 Maret 2003, maka ditetapkanlah Raden Muhammad Sjafei Prabu Diradja sebagai Sultan Palembang Darussalam dengan gelar Sultan Mahmud Badaruddin Prabu Diradja. Tiga tahun kemudian (November 2006) muncul sultan lainnya yaitu Sultan Iskandar Mahmud Badaruddin yang dikukuhkan oleh Himpunan Zuriat Kesultanan Palembang Darussalam. Sejak itu kisruh dikedua kubu tidak pernah surut. Sultan Mahmud Badaruddin Prabu Diradja mengkaim bahwa dirinyalah yang berhak menyandang gelar sultan, sesuai nasabnya yang berasal dari Sultan Mahmud Badaruddin II. Di lain pihak Sultan Iskandar Mahmud Badaruddin terus berkiprah mengatasnamakan dirinya sebagai Sultan Palembang Darussalam dan eksis dalam Festival Keraton Nusantara dan acara-acara lain yang berkaitan dengan keraton. Pemerintah kota dan provinsi tampaknya belum berminat untuk mengakhiri kisruh tersebut, sehingga sampai sekarang masalah tersebut terkatung-katung tidak selesai (Wawancara dengan Sultan Mahmud Badaruddin Prabu Diradja, pada 30 Juni 2011, pk 00.14-15.30 di kediaman Bp. SMB Prabu Diradja).  
Yang tersisa dari SEA Games
Dampak Sea Games
Bidang Ekonomi dan Seni Budaya;
·        Terdapat dua lokasi pameran cinderamata yaitu Sriwijaya Expo di Dekranas Jaka Baring yang diselenggarakan oleh Pemprov. Sumsel dan di pelataran Benteng Kuto Besak. Di sana dipamerkan hasil kerajinan dari Sumsel dan daerah-daerah lain di Indonesia. Akan tetapi banyaknya pengunjung tidak sesuai dari yang diharapkan, karena para pengunjung lebih memfokuskan diri pada berbagai arena pertandingan. Faktor lain barang-barang yang dipamerkan kurang menarik pengunjung karena kurang berkualitas, ragam yang ditawarkan tidak terdapat yang baru.
·        Alat transportasi di areal Jaka Baring adalah beca, ternyata para penarik beca sebanyak 120 orang didatangkan dari Kabupaten Ogan Ilir, bukan dari Palembang. Akibatnya menimbulkan kecemburuan para penarik beca dari Palembang.
·        Pada saat menjelang, pelaksaanaan dan setelah penutupan SEA Games, volume keberangkatan dan kedatangan di Bandara Sultan Mahmud Badaruddin II sangat ramai. Dalam kondisi demikian para sopir taxi Palembang justru melakukan demo, karena mereka kalah bersaing dengan taxi Blue Bird (Blue Bird masuk Palembang menjelang pelaksanaan SEA Games) yang menggunakan argo dan armada baru.
·        Pariwisata tidak banyak berpengaruh terhadap peningkatan kunjungan wisatawan ke berbagai objek wisata di Palembang[6], antara lain: wisata air di Sungai Musi, Meseum Sultan Mahmud Badaruddin II, Museum Balaputeradewa, Taman Purbakala Kerajaan Srijaya, Pulo Kemaro, taman wisata Punti Kayu, wisata rohani Kawah Tengkurep, Bukit Siguntang, pelataran BKB, masjid Agung dll. Bahkan kesempatan yang diberikan oleh panitia untuk mengunjungi kapal pesiar yang difungsikan sebagai hotel, tidak dikunjungi oleh wisatawan asing. Penduduk Palembang yang memanfaatkan kesempatan tersebut. 
·        Panitia Inasoc menetapkan beberapa lokasi tempat menginap para atlet disuguhkan kesenian tradisional Sumsel mulai pukul 17.00. akan tetapi mungkin karena kurang komunikasi antara panitia dan tempat penyelenggara (hotel-hotel dan wisma atlet), sehingga tidak ada panggung tempat mereka mempertunjukkan kesenian dari berbagai kabupaten Sumsel. Kondisi serba “apa adanya” tersebut disambut dengan “seadanya” oleh para penonton yang umumnya atlet dan para official. Akibatnya, tujuan panitia untuk mengenalkan budaya lokal belum mencapai sasaran (Wawancara dengan Hendra Jamal dan Nada Nasyaya, wartawan radio Smart Fm pada 5 Desember 2011 pk 00.10-11.30 WIB).
·        Tumbuhnya rasa bangga karena Palembang dan Sumsel dikenal secara nasional dan internasional.
·        Bangga memiliki sarana olah raga yang lengkap.  
·        Hotel-hotel di Palembang tidak mampu menampung para tamu yang datang sehingga harus mendatangkan kapal pesiar yang difungsikan sebagai hotel.
·        Restoran, hasil kerajinan, cinderamata, makanan khas Palembang, transportasi juga merasakan dampak positif dari Sea Games, sehingga perekonomian bergairah.
·        Penduduk Palembang khususnya dan Sumsel umumnya antusias menyambut dan mengikuti dan menghadiri even-even olahraga. Mereka lebih tertarik menonton berbagai cabang olahraga dari pada menonton pameran.
Berbagai bahasan tentang persoalan-persoalan yang menyangkut sosial, budaya, sejarah dan kemasyarakatan di Provinsi Sumatera Selatan[7], hanya merupakan bagian kecil yang dapat dipaparkan pada kesempatan ini. Semoga data ini akan terus bertambah seiring dengan waktu dan usaha untuk melengkapinya.
                                                                                                Sungai Musi, Farida RWD 081211

Daftar Pustaka

Faille,P. Roo de la, Dari Zaman Kesultanan Palembang, Jakarta: Bharatara,     1972.
Gersen, G,H., Oendang-Oendang Of Verzameling van Voorschriften in de Lematang Oeloe en Ilir en de Pasemanlanden, TBG, Jilid XX, 1876.
Hanifah, Abu., Undang-Undang Simbur Cahaya, Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1994.
Veth, P.J., Statisticshe Woordenboek van Nederlandsch Indie, Amsterdam: P.N. van Kampen, 1869.

Internet
www.palembang.go.id

Wawancara

Sultan Mahmud Badaruddin II Prabu Diradja
Hendra Jamal
Nada Nasyaya




[1] Disampaikan dalam acara “Dialog dalam Rangka Persiapan Kongres Kebudayaan” pada 12—14 Desember 2011 di Pontianak Kalimantan Barat.
[2] Dosen FKIP Unsri, Program Studi Pendidikan Sejarah Universitas Sriwijaya.
[3] Batang hari Sembilan terdiri dari Musi, Klingi, Bliti, Lakitan, Rawas, Rupit, Batang Ari Leko, Ogan dan Komering (Falle,1971: 16).
[4] Hak Ulayat adalah hak atas tanah yang dikelola oleh penduduk secara turun-temurun, tetapi tidak ada surat-surat resmi.
[5] Peninggalan Kesultanan Palembang antara lain: Keraton Kuto Besak, Pulo Kemaro (Gombora/Kembara), makam Kawah Tengkurap, Bukit Siguntang, Rumah Kapiten dan Klenteng 10 Ulu, dan Kampung Arab di kawasan seberang Ulu dan Ilir Timur I Palembang.
[6] Kota Palembang menawarkan objek wisata air (Musi River) bagi wisatawan. Pencanangan Palembang sebagai “Kota Wisata Air” pada 27 September 2005 (www.palembang.go.id). Akan tetapi, belum menampakkan hasil sebagaimana yang diharapkan. Menurut pengakuan para tukang ketek (pengemudi perahu bermesin), bahwa selama Sea Games pendapatan mereka tidak meningkat. Penikmat wisata ini justru penduduk local (Wawancara dengan Hendra Jamal, wartawan Smart Fm pada 5 Desember 2011).
[7] Berdasarkan data terakhir (2010) jumlah penduduknya mencapai 6,7 juta jiwa. Tersebar di 145 kecamatan dan 243 desa (www.sumselprov.go.id).