Minggu, 08 Januari 2012

Perekonomian Kesultanan Palembang Abad XVII hingga Awal Abad XIX

Oleh : Farida*

Abstrak
            Tulisan ini bertujuan untuk melihat perekonomian Kesultanan Palembang dari abad XVII hingga awal abad XIX dengan permasalahan “bagaimanakah perekonomian Kesultanan Palembang abad XVII hingga awal abad XIX?”. Kurun waktu di atas menempakan Palembang sebagai salah satu kesultanan penting di Nusantara. Kesultanan ini banyak menghasilkan komoditi yang sangat laku di pasaran dunia yaitu lada dan timah, disamping produk alam lainnya. Sultan dan kaum bangsawan menjadi pelaku sentral dalam perekonomian tersebut. Kondisi menguntungkan ini (penghasil lada dan timah)  membawa Palembang menjadi incaran Belanda dan Inggris. Belanda mengikat Palembang dengan berbagai kontrak, sedangkan Inggris terlibat aktif dalam “perdagangan gelap”.

Kata Kunci : perekonomian, lada, timah, sultan, kolonial Belanda, Inggris.


            Kesultanan Palembang berdiri pada pertengahan abad XVII, tepatnya di bawah kepemimpinan Sultan Abdul Rahman Khalifatul Mukminin Sayidul Imam (1659-1702). Sebelumnya berbentuk kerajaan yang berada di bawah pengaruh Kerajaan Mataram. Perubahan bentuk pemerintahan ini, menandai pula lepasnya Palembang dari Mataram. Sebagai kerajaan yang berdaulat penuh, maka Kesultanan Palembang makin berkembang perekonomiannya. Dengan posisi yang sangat strategis, ditopang pemerintahan yang stabil, Palembang juga banyak menghasilkan komoditi yang sangat dibutuhkan baik oleh pasar dometik maupun internasional.  
            Kondisi ini menjadi dilematis, sebab disatu sisi ini menguntungkan, akan tetapi di sisi lain justru menjadi bumerang yang menempatkan Palembang menjadi incaran bangsa-bangsa  imperialis dunia khususnya Belanda dan Inggris. Dari uraian tersebut muncul pertanyaan “bagaimanakah perekonomian Kesultanan Palembang abad XVII hingga awal abad XIX?”. Penetapan kurun waktu yang panjang, dimaksudkan untuk melihat secara global perkonomian Palembang yang menjadi fenomena menarik bagi bangsa-bangsa kolonialis dunia, sehingga muncul istilah “semahal lada” dan “emas hitam”, untuk mewakili komoditi terpenting dunia yang dihasilkan oleh Kesultanan Palembang. Awal abad XIX adalah puncak terakhir Kesultanan Palembang sebagai kesultanan yang berdaulat.
            Perekonomian masyarakat di Kesultanan Palembang pada umumnya berdasarkan pada pertanian, perkebunan, perikanan, pengumpulan hasil hutan, dan tambang. Pada  abad XVII hingga awal abad XIX hasil pertanian, perkebunan, hasil hutan, tambang dan perikanan digunakan untuk memenuhi kebutuhan sendiri dan sebagian untuk ekspor. Komoditi primadona dari Palembang adalah lada dan timah, tetapi di samping itu masih banyak produk pertanian lainnya (ANRI, Bundel Palembang No. 62.7; Java Gouvernement Gazette, 4 Juli 1812).
Produk Kesultanan Palembang
Awal Abad XV kebutuhan Eropa akan lada meningkat tiga kali lipat. Hal ini menyebabkan tanaman lada berkembang pesat di Nusantara (Bastin, 1960: 9-10). Di Pulau Sumatera lada banyak dihasilkan oleh Pidi, Pasai, Indragiri, Kampar, Pariaman, Indrapura, Silebar, Jambi, Palembang dan Lampung (Leur, 1967: 25-6). Abad XVII  lada merupakan satu-satunya produk paling cocok untuk Eropa. Harga lada pada tahun 1662 mencapai empat real per pikul (ANRI, Bundel Palembang No. 62.2). Tingginya harga lada dan kewajiban menjualnya kepada Vereenigde Oost Indische Vompagnie (VOC) sesuai dengan kontrak yang telah disetujui oleh penguasa Palembang, menyebabkan raja-raja Palembang  mewajibkan rakyatnya menanam lada di daerah uluan (terbesar di daerah Rawas), Bangka dan Belitung. Akibatnya Kesultanan Palembang merupakan salah satu penghasil lada terpenting di Nusantara. Konsekuensinya Palembang makin menarik bagi bangsa Eropa, khususnya Belanda yang mengikat para sultan dengan kontrak-kontrak. Kontrak-kontrak itu isinya semakin mengikat, hal ini mendorong para penguasa Palembang melakukan perdagangan gelap dengan pihak asing seperti Inggris, Amerika, Francis, Cina dan pedagang pribumi lainnya. Di sisi lain pihak Belanda terus berusaha melakukan berbagai macam cara agar lada dari Palembang sepenuhnya hanya menjadi milik mereka.
*Dosen FKIP Universitas Sriwijaya.
            Komoditi lainnya yang sangat penting bagi kesultanan ini adalah timah. Tahun 1709/1710 timah ditemukan di Pulau Bangka, diikuti daerah Belitung, maka sejak itu pula timah menjadi komoditi paling penting (Bangka adalah salah satu penghasil timah terbesar di dunia). Timah khususnya diekspor ke Cina. Akibatnya Belanda pun memperbaharui kontrak tahun 1722 yang menempatkan Belanda sebagai pemegang hak monopoli timah Bangka sekaligus memperkuat monopoli lada[1] (Java Gouvernement Gazette, 4 Juli 1812; Ricklefs, 2005: 154, 157; Woelders, 1975: 75-80;  Kielstra, 1892:79; Stapel. 1940: 97).
Lada dan timah telah merubah sejarah kawasan ini dari wilayah yang sangat strategis dalam bidang perdagangan dan pelayaran sejak zaman Sriwijaya, berkembang menjadi kawasan yang juga menghasilkan produk-produk penting dunia. Hal ini membawa Palembang menjadi salah satu kerajaan besar dengan kekayaan tinggi. Tetapi juga mengundang bencana, karena kondisi di atas membuat bangsa-bangsa bersaing ketat untuk menguasai daerah ini, yang membawanya pada kehancuran.
            Produk lainnya yang dihasilkan oleh Palembang adalah katun (ditanam di lokasi bekas tanaman padi yang telah dipanen), gambir, nila, tembakau (tembakau Ranauw/Ranau sangat disukai dan harganya tinggi), sirih, buah pinang, tarum godong pipit, rami, dan pisang. Buah-buahan yang terkenal adalah mangga, durian, cempedak, jeruk nipis, nanas, jambu bol, jambu biji, pepaya, srikaya, buah nona, langsep, prambeh, duku, rambutan, delima dan bidara.(ANRI, Bundel Palembang No. 62.2; Bundel Palembang No. 62.7; Java Gouvernement Gazette, 4 Juli 1812).
Sedangkan hasil hutan umumnya diekspor, seperti: rotan, getah, damar, damar wangi, kayu laka, lilin, gading gajah, tanduk kerbau, emas pasir, kopi, gula, gambir, pinang, nila, lada, tembakau, rami, tebu, getah naga dan sarang burung. Produk tambang selain timah adalah emas, sulfur, baja[2]. Produk-produk ini dibawa ke daerah-daerah lain di Nusantara, Malaka, Siam, Cina dan Eropa. Sedangkan produk impor meliputi : kain Belanda (Eropa), kain lina dari Pulau Jawa, garam (dari Siam atau yang diproduksi oleh penduduk Palembang sendiri) (ANRI, Bundel Palembang No. 62.7; Java Gouvernement Gazette, 4 Juli 1812; Sevenhoven, 1971: 47), barang pecah belah dari Cina, sutra, benang emas, panci-panci besi, obat-obatan, teh dan manisan (Sevenhoven, 1971: 46). Satu-satunya barang impor dari Eropa yang sangat diminati di Asia Tenggara selama berabad-abad adalah senapan (Reid, 2004: 327).
Wilayah Palembang terbagi atas kawasan dataran tinggi, dataran rendah dan Pulau Bangka-Belitung. Wilayah yang luas ini banyak terdapat sungai-sungai besar dan kecil, rawa-rawa di dataran rendah serta laut/selat yang memisahkan daratan Palembang dengan Pulau Bangka-Belitung adalah kawasan yang sangat kaya akan hasil perikanannya. Itulah sebabnya menangkap ikan merupakan mata pencaharian utama penduduk dan ikan menjadi bahan makanan utama[3]. Sebagai contoh penduduk Sunsang (muara Sungai Musi) menggantungkan hidup mereka sepenuhnya dari menangkap ikan. Ikan-ikan dan udang yang telah dikeringkan dalam bentuk kering, dan terasi dijual ke Pulau Jawa dan pulau-pulau lainnya. (ANRI, Bundel Palembang No. 62.7; Bundel Palembang No. 62.2).
Dari banyaknya produk komersial yang dihasilkan oleh Kesultanan Palembang, maka wajarlah kalau kesultanan ini tidak pernah ditinggalkan oleh bangsa Eropa (Belanda, Inggris)[4]. Dari kontrak-kontrak yang dibuat oleh Belanda sejak abad XVII dan Inggris (Tahun 1812-13 dan 1818) menunjukkan keberadaan Palembang sangat penting bagi kaum kolonialis.
Apa yang telah diuraikan adalah produk uluan dan Bangka-Belitung, bagaimana dengan pusat kerajaan? Ibukota kesultanan Palembang adalah kota Palembang. Sebagian besar tanahnya terdiri adalah dataran rendah. Kondisi demikian tidak memungkinkan penduduk untuk bertani atau mengumpulkan hasil hutan. Itulah sebabnya mereka mengembangkan berbagai kerajinan. Kesultanan Palembang terkenal penghasil berbagai kerajinan, seperti : pertukangan, ukir gading, pandai besi, tembaga, emas. Mereka  mengolah emas dengan sangat indah dan menghasilkan sarung keris (pendok), batang keris (kara) dan perhiasan lainnya. Mereka juga mencampur emas dengan tembaga sehingga menjadi logam yang indah yang disebut swasa (perbandingannya tembaga–emas adalah 5:4), dari campuran ini dibuat kotak sirih dalam berbagai bentuk buah, kotak rokok, sarung keris dan perhiasan lain seperti membuat peti kayu yang dicat indah (ANRI, Bundel Palembang No, 62.2; Paulus, 1918: 182). Hasil-hasil kerajinan ini di ekspor ke Siam, mencapai nilai 500 sampai 1000 ringgit Spanyol atau setara dengan f 3500 sampai f 7000 ringgit Spanyol per tahun. Tembaga hitam adalah campuran tembaga murni dengan emas (perbandingan 10 dengan sebagian emas). Produk yang dihasilkan adalah bunga emas, campuran lain yaitu dua bagian tembaga dengan satu bagian sangsa, maka akan dihasilkan perhiasan yang sangat berkualitas. Belum lagi tembaga itu sendiri diolah dengan teknik perekatan akan diperoleh banyak produk yang sangat baik. Mencampur lima bagian tembaga dengan dua bagian timah (senk) dalam bentuk kuningan, dari sini dapat dibuat lila (meriam kecil), kotak sirih, nampan, ketel teh dan berbagai jenis peralatan rumah tangga.(ANRI, Bundel Palembang No. 62.2). Mereka juga ahli mengolah perak, permata dan gading. Keahlian lain sebagai pesulap, pelukis, tukang kayu dan batu, pembuat sepatu, dan pembuat perahu (Veth, 1867: 654). Berdasarkan laporan de Kock kepada gubernur Jenderal tahun 1821 (seusai penaklukan Palembang) bahwa orang Palembang ahli membuat amunisi, meriam, pengecor kuningan dan pembuat senapan. Pengecor kuningan dan pembuat senapan umumnya orang Cina (ANRI, Bundel Palembang No. 47.6).
Para perempuan umumnya membuat bahan pakaiannya sendiri, juga membuat sarung, penutup kepala, dan pakaian lainnya dengan menggunakan katun Eropa atau semi katun yang dihiasi dengan berbagai motif bunga dan lainnya. Produk mereka sangat menonjol karena sangat berkualitas,  baik dilihat dari warna maupun ketahanannya. Para pengrajin Palembang sangat terkenal dengan keahlian menenun baju dan kopiah Arab dengan benang emas, pelet dan bordir. Contohnya jenis trawangnan dan katun putih sulam kait yang sangat indah. Bahkan benang yang sangat indah dari Padang dan bagian Sumatra lainnya dibuat di Palembang            . Di daerah pedalaman juga terdapat kerajinan katun tapi bahan dan cara pembuatannya masih kasar tetapi kuat (ANRI, Bundel Palembang No. 62.2; Veth, 1867: 654).
Peran Sultan dan Bangsawan dalam Perekonomian Palembang
Sebagai pemegang monopoli perdagangan dengan rakyat, sultan menjalankan sistem perdagangan yang dikenal dengan istilah Tibang (Tiban) dan Tukong (Tukon). Tibang adalah pertukaran wajib barang-barang produk dari pedalaman dengan barang-barang impor. Tukong adalah penukaran barang dari pedalaman dengan uang. Barang-barang yang digunakan untuk tibang adalah baju Jawa, kain Bengala putih, kapak/parang besi dan garam. Barang-barang ini biasanya nilainya dikalikan dengan seratus atau bahkan diselewengkan sampai dua ratus. Diluar produk di atas tidak diperkenankan dimasukkan ke dalam Tibang Tukong, seperti  lada, kopi, lilin, gading gajah, katun, tembakau dan gambir dan terutama beras.(ANRI, Bundel Palembang No. 15.7). Dalam kaitannya dengan tukong, dikatakan bahwa penggunaan uang di Kesultanan Palembang sudah merata. Uang yang beredar umumnya dolar Spanyol, juga mata uang lokal yang dikeluarkan oleh pihak kesultanan, disebut uang pitis (Marsden, 2008: 333) dan uang dukaton (ANRI, Bundel Palembang No. 62.2).
Pada masa pemerintahan Sultan Najamuddin II, ia tidak memungut tibang-tukong sesuai ketentuan yang ada. Terjadi penyimpangan[5], setiap marga ditetapkan untuk menyetorkan  beberapa komoditi yang sebelumnya tidak termasuk ke dalam tibang dan tukong, seperti beras, lada, kopi gambir, lilin, rotan, dan kerbau yang jumlahnya dinaikkan 50-100 real. Hal ini dilakukan dua sampai empat kali setahun (sebelumnya hanya satu kali setahun atau maksimal dua kali setahun) secara rutin sehingga rakyat kehilangan sumber kehidupan sepanjang tahun. Kewajiban ini secara hirarki diserahkan oleh Jenang kepada Depati, selanjutnya Depati mendelegasikannya kepada para proatin, terakhir para proatin membebankannya kepada setiap matagawe yang dibantu oleh orang alingan. Tidak seorangpun bebas dari pajak (ANRI, Bundel Palembang No. 15.7; Bundel Palembang No. 47.6). Kondisi di atas sangat membebani rakyat Palembang.
Hubungan dengan Kolonial Belanda           
Paruh kedua Abad XVIII, kemajuan VOC terhenti[6], akibatnya usaha untuk menguasai Nusantara berakhir dengan ditariknya sebagian kekuatannya. VOC memutuskan untuk membatasi aktivitasnya hanya di daerah Jawa Barat, pantai utara Pulau Jawa dan Maluku. Di Jawa setelah tahun 1757 sampai 1825 tidak terjadi peperangan. VOC pun tidak lagi bersaing ketat dengan bangsa Eropa lainnya di Nusantara, kecuali dengan orang-orang Inggris di Palembang. Pos-pos VOC di Timor, Makasar, Palembang, Padang, dan Kalimantan Selatan pada dasarnya hanyalah sekedar lambang saja atas adanya VOC di daerah tersebut (Ricklefs, 2008: 238).
Perdagangan dan pelayaran VOC di daerah Palembang juga mengalami kemunduran pada sekitar tahun 1780-an. Mundurnya VOC sebagai badan dagang milik Belanda, menyebabkan terjadi pula penurunan penyerahan timah oleh pihak Kesultanan Palembang kepada VOC. Hal ini disebabkan VOC tidak mampu membeli timah[7]. Sultan Bahauddin tidak akan menyerahkan komoditi tersebut kepada kompeni Belanda secara kredit (sesuai kontrak-kontrak yang selama ini berlaku yaitu penjualan secara tunai) dan sultan pun menolak memberikan pinjaman pada kompeni Belanda.  Sebagaimana disinyalir para pejabat di Belanda, bahwa banyak terjadi perdagangan gelap yang membawa VOC makin terpuruk. Perdagangan gelap ini dilakukan oleh pegawai-pegawai VOC, para pedagang Palembang[8], pedagang-pedagang dari Lingga Riau dan orang-orang Bone serta para pedagang kecil pribumi lainnya (ANRI, Bundel Palembang No. 24). VOC tidak mampu lagi memaksa agar dipatuhinya aturan-aturan monopoli sehingga penyelundupan makin marak (Woelders, 1975: 4). Marsden menuliskan bahwa pada tahun 1780-an hanya sepertiga hasil lada dan timah yang berhasil dibawa ke Batavia, selebihnya dijual ke Cina dalam bentuk selundupan (2008: 330). Dari Bangka, lada dan timah terus dibawa ke Malaka dan tempat-tempat lain khususnya Cina. (ANRI, Bundel Palembang No.19). Hal ini menunjukkan bahwa perairan ramai ini seolah “tak bertuan”.
Sebab lain kemunduran VOC adalah makin maraknya perampasan di perairan Selat Bangka dan Sungai Musi oleh para bajak laut (elanong)[9]. Residen Palembang telah berkali-kali mengajukan protes kepada Sultan Muhamad Bahauddin (1776-1804) tentang hal ini. Pihak sultan pun telah berulangkali pula menghalau elanong dari kawasan perairan ini akan tetapi hal tersebut tidak dapat menghilangkannya. Akibatnya, pada tahun 1802 hanya 4280 pikul timah dan 500 pikul lada yang berhasil dibawa dari Bangka (ANRI, Bundel Palembang No.24). Dua tahun berikutnya hasil yang diperoleh dari penjualan timah yang disetorkan kepada Belanda hanya mencapai 16 ribu ringgit, suatu jumlah yang tidak berarti pada waktu itu (Kaiser, 1857: 85).  Sedikitnya timah juga disebabkan kurangnya tenaga kerja untuk bekerja ditambang-tambang timah[10]
Maraknya perdagangan gelap juga dipicu oleh rendahnya harga yang ditetapkan oleh pihak kolonial Belanda. Akibatnya sultan melakukan berbagai cara agar tidak dirugikan oleh berbagai kontrak[11]  antara Kesultanan Palembang dan VOC, salah satunya yang cukup efektif adalah melalui perdagangan gelap. Disisi lain para petualang Inggris sejak lama terus berusaha mendekati para sultan untuk menyelundupkan timah. (dari bulan april sampai September 1800 ada empat kapal Inggris berlabuh atau hanya lalu lalang di selat Bangka, salah satunya adalah kapal perang. Mereka membeli timah (April 1800 kapal Inggris membeli 2500 potong timah dari Raden Jafar) juga memperdagangkan lilin, kayu cendana (terbanyak dari Pulau Timor) yang mereka peroleh dari kawasan timur Nusantara (ANRI, Bundel Palembang No. 19; Ricklefs, 2008: 147).
Sampai menjelang pendudukan Inggris atas Batavia September 1811 kondisi perairan di nusantara yang menjadi wilayah Belanda tetap rawan, faktor penyebabnya antara lain adalah makin gencarnya Inggris memblokade Batavia dan pelabuhan-pelabuhan milik Belanda di pantai utara Pulau Jawa. Inggris berusaha  menghancurkan perdagangan dan wilayah kolonial Belanda serta menghasut orang-orang pribumi agar bangkit melawan, sekaligus bersedia berada di bawah pengaruh mereka. Akibatnya Sultan Badaruddin II dan Pangeran Ratu mengalami kesulitan mengirimkan timah dan lada ke Batavia. Contoh kesulitan besar yang dialami armada Palembang pada saat mengirimkan timah yang hanya seberat 500 pikul ke Batavia, harus menghindari blokade armada Inggris. sebagaimana dilaporkan oleh Said (seorang pedagang Arab). Sekaligus ia menggambarkan besarnya kekuatan armada laut Inggris. Kerugian yang dialami berupa perahu dan muatannya dirampas oleh armada Inggris, sedangkan pihak Belanda menuntut agar produk-produk dari Palembang tetap dikirimkan ke Batavia bahkan ada ancaman bahwa tanpa produk-produk dari Palembang maka kehidupan mereka akan terancam. (ANRI, Bundel Palembang No. 19). Gambaran tentang kondisi perdagangan dan perairan kawasan barat Nusantara akhir abad XVIII hingga awal abad XIX  membawa dampak positif bagi perekonomian Kesultanan Palembang. Sultan-sultan Palembang ikut terlibat maraknya perdagangan gelap dalam jumlah besar sehingga memperoleh keuntungan yang berlipat (Kielstra, 1892: 80).
            Perdagangan gelap mempunyai makna yang berbeda, tergantung dari sudut dan kepentingan mana melihatnya. Bagi kolonial Belanda, perdagangan gelap adalah momok yang sangat merugikan dan harus dihancurkan dengan segala cara. Akan tetapi bagi Kesultanan Palembang, hal ini adalah peluang  untuk keluar dari kungkungan kolonial Belanda dan keuntungan besar bagi kepentingan Palembang, karena pihak kesultanan berperan aktif didalamnya khususnya menjelang akhir riwayat VOC.
Simpulan
            Kurun waktu abad XVII hingga awal abad XIX adalah masa lahir dan berkembangnya Kesultanan Palembang. Perkembangan itu tidak terlepas dari perekonomian kerajaan ini. Perkonomian Palembang terdiri dari pertanian, perkebunan, hasil hutan, perikanan dan pertambangan. Palembang menghasilkan produk primadona dunia yaitu lada dan timah. Kolonial Belanda dan Inggris terlibat baik secara langsung maupun tidak langsung dengan Palembang dalam bidang perdagangan.
Daftar Pustaka
ANRI, Palembang Brieven 1798-1808, Bundel Palembang No.24.
ANRI, Jaarlijksch Verslag van de Residentie Palembang over 1834 en 1835, Bundel Palembang   No.62.2.
ANRI, Extract uit het verbaal gehouden bij Generaal Majoor opperbevelhebber der Palembangsche expeditie en Kommisaris van het Gouvernement aldaar 1821, Bundel Palembang, No. 47.6.
ANRI,Overzicht van het Verhandelde van de Kommisarisen Herman Werner Muntinghe in het Rijks van Palembang nopen deszelfs instellingen finantien  vooruitzichten 1818-1819, Bundel Palembang, No. 15.7
ANRI, Register van zodanige papieren die heden van hier per een expressie voor Batavia aan haar Hoog Edelheedens in alleen eerbied aangeboden werden. Bundel Palembang, No.19.
ANRI, Notulen uit de aparte briven van Palembang ontvangen in 1804 bij wegen van vervolg ged. 26 Oktober tot 30 November en 17 December 1804, Bundel Palembang No. 22.1.
ANRI, Algemeen Jaarlijksch Verslag der Residentie Palembang over den Jaare 1844,
Bundel Palembang, No. 62.7.
Paulus,J., 1918, Encyclopaedie van Nederlandsch Indie, ‘s Gravenhage, Martinus Nijhoff.
________, 1917, Encyclopaedie van Nederlandsch Indie, ‘s Gravenhage, Martinus Nijhoff.
Veth, P.J., 1867, Aardrijkskundige Woordenboek van Nederlandsch Indie, Amsterdam, P.N. van Kamp.
Java Government Gazette, Sabtu, 4 Juli 1812
Erman, Erwiza., 2009, Menguak sejarah Timah bangka-Belitung, dari  Pembentukan Kampung ke Perkara Gelap, Yogyakarta:Ombak.
Furnivall, J.S., 2009, Hindia Belanda, Studi tentang Ekonomi Majemuk, Jakarta: Freedom Institute.
Hall, D.G.E., 1988, Sejarah Asia Tenggara, Surabaya: Usaha Nasional.
Lapian, B. Adrian., 2009, Orang Laut Bajak Laut Raja Laut, Sejarah Kawasan Laut Sulawesi Abad XIX, Depok: Komunitas Bambu.
Marsden, William., 1966, The History of Sumatra, Kuala Lumpur: Oxpord University Prees.
Masyhuri,1983, Perdagangan Lada dan Perubahan Sosial Ekonomi di Palembang 1790-1825, Thesis yang belum diterbitkan, Fakultas Pascasarjana Bid.Studi Sejarah Universitas Indoensia.
Ricklefs,M.C., 2005, Sejarah Indonesia Modern 1200-2004, Jakarta: Serambi.
Reid, Anthony., 2004, Sejarah Modern Awal Asia Tenggara,Jakarta: LP3ES.
Sevenhoven,J.L.van,LukisanTentangIbukotaPalembang, (Terjemahan Beschrijving van de Hooodplaats).
Woelders,M.O., 1975, Het Sultanaat Palembang 1811-1825, Leiden: VKI Publ. No.72.
Bastin, John A., 1953, Palembang in 1811 and 1812, dalam BKI, jilid 109.
Een en Ander over de Bevolking van Banka Hare Bestaansvoorwaarden en Verlichtingen, 1914, jilid 47,  Tijdschrift voor Binnenlandsch Bestuur.
Kemp, P.H, van der., 1898, Geschiedenis van Een Engelschen Raid of Hollandsch Groudgebeid, dalam de Gids, jilid I.
Kielstra, E.B., 1892, De Ondergang Van Het Palembangsche Rijk, dalam de Gids.
Stapel, F.W., 1940, Geschiedenis van Nederlandsch Indie, vijfde deel, Amsterdam,  Joost van den Vondel.


[1] Kontrak pertama dilakukan dengan Belanda tahun 1642.
[2] Baja terdapat di Pulau Belitung, baja dipakai untuk membuat senjata dan peralatan lain (Java Gouvernement Gazette, 4 Juli 1812).
[3] Jenis-jenis ikan yang dihasilkan daerah ini adalah tapa, lemak, lais, tebangalan, patin, bandeng, kluyu, pareh, dalum, blidah, sagaret, arok, toman, tongkol, delak, buju, lele, juara, blutulang, tebangkang dan masih banyak lagi. Ikan-ikan yang menjadi primadona adalah lemak, lais, patin, jangutan, delek, dan kali (ANRI, Bundel Palembang No. 62.7; Bundel Palembang No. 62.2).

[4] Kerajaan Jambi adalah contoh daerah yang ditinggalkan oleh Inggris tahun 1679. Bahkan para pedagang maritim nusantara dari Jawa, Makasar, dan Eropa lainnya tidak lagi berlabuh di pelabuhan Jambi pada awal abad XIX (Locher-Scholten, 2008: 44 dan 48). Sejak pertengahan Abad XVIII sampai Abad XIX Belanda mengabaikan posnya di Jambi (Ricklefs, 2008: 158).
[5] Sultan Najamuddin II tidak memiliki kekayaan karena dengan mundurnya Sultan Badaruddiin II ke uluan (1812) maka  Sultan Badaruddin II membawa harta kekayaan ke pedalaman. Najamuddin II juga kehilangan sumber pendapatan utama (lada dan timah) dengan diserahkannya Pulau Bangka-Belitung kepada Inggris serta blokade dan gangguan keamanan yang dikerahkan oleh Sultan Badaruddin II dari daerah Rawas (Woelders, 1975: 8; Kielstra, 1892 : 82; Kemp,1898: 255).
[6]VOC berdiri awal Abad XVII, organisasi dagang ini terus berkembang. Memasuki Abad XVIII, perdagangan VOC mulai menurun karena rendahnya daya beli masyarakat (Laporan Gubernur Jenderal Van Hoorn) sehingga perdagangan mengalami kerugian. Penurunan juga disebabkan para pegawai VOC ikut terlibat dalam perdagangan gelap dan korupsi. Untuk menutupinya badan dagang ini melakukan peminjaman uang. Tahun 1783 hutang VOC sudah mencapai f 55 juta, dan 12 milyar gulden pada akhir abad XVIII (ANRI, Bundel Palembang No. 22.1; Hall, 1988: 293-4; Furnivall, 2009: 52). 
[7] Berdasarkan laporan residen Palembang pada tanggal 5 April 1788, VOC hanya mampu membeli lada sebesar 2000 pikul, sedangkan yang dijual ke Cina mencapai 20000 pikul setahun (ANRI, Bundel Palembang No.49). Setelah tahun 1787 produksi timah menurun, penyebabnya adalah peperangan VOC dengan raja-raja Riau dan Lingga yang bekerjasama dengan para bajak laut. Akibatnya terjadi penjarahan, penghancuran dan pembunuhan di Bangka (Veth, 1859: 162-3). Tahun 1796 timah Bangka yang dapat dibeli oleh  VOC hanya sebanyak 1400 pikul (Erwiza, 2009: 77). Penurunan volume dagang VOC dapat pula dilihat dari sedikitnya kapal-kapal yang berbendera VOC berlabuh di Palembang pada tahun 1790-1792, hanya sebanyak 20 buah, sedangkan kapal-kapal pribumi dan  asing yang merapat mencapai 374 buah  (Masyhuri, 1983: 107).
[8] Sebagai kerajaan maritim, maka soal hubungan antara raja dengan pedagang merupakan salah satu aspek penting. Raja sering menjadi pemodal bagi pedagang bahkan tidak jarang raja hidup dari hutang-hutang yang diterima dari para saudagar. Sahbandar diistilahkan sebagai “kas sultan” (Faille, 1971: 6). Perdagangan illegal ini juga dipicu oleh perbedaan harga yang cukup jauh antara harga VOC sebesar delapan ringgit per pikul, sedangkan Inggris sanggup membayar dengan harga enam belas ringgit per pikul (Woelders, 1975: 84)
[9] Elanong (Lanun, Ilanun, Iranun) adalah Bajak laut atau perompak laut, berasal dari bahasa Mangindano “I-lanao-en” yang berarti orang dari danau Lanao yang terletak ditengah pulau Mangindanao. Keberadaan kelompok ini di kawasan pantai timur Sumatra sudah berlangsung sejak abad XIV atau bahkan jauh sebelum itu.  Dalam kaitannnya dengan Palembang, dikatakan bahwa berdasarkan sumber Cina pada Abad XV Palembang terkenal sebagai “pusat bajak laut” (Lapian, 2009:127, 137-8). Tokoh bajak laut awal Abad XIX yang paling terkenal di Kesultanan Palembang adalah Raden Jafar. (seorang bangsawan Palembang). Sumber arsip menyebutkan dibutuhkan kekuatan besar untuk menaklukkannya (sampai ribuan serdadu). Kekuasaannya tidak saja di perairan Selat Bangka dan pantai timur Sumatra bahkan sampai pantai laut Jawa. Pos-posnya terdapat di Bangka dan Belitung. Komoditi yang dirampas tidak saja timah atau lada tetapi juga beras yang sangat diperlukan bagi kehidupan para pekerja tambang di Bangka (ANRI. Bundel Palembang No.19 dan Bundel Palembang No. 24). Tokoh lain adalah Panglima Raja (Belitung), wilayah jelajahannya bahkan sampai Cirebon pantai utara Pulau Jawa (ANRI, Bundel Palembang No. 24).  



[10] Jumlah penduduk Bangka sedikit dan tidak ahli dalam mengolah timah, itulah sebabnya tenaga kerja didatangkan dari Cina. Jumlah penduduk yang terbatas ini semakin berkurang dikarenakan wabah penyakit yang sering melanda, tahun 1804 elanong membawa penyakit menular ke Bangka, sehingga penduduk tersisa hanya sepuluh persen. (ANRI, Bundel Palembang No. 24; Een en Ander.., 1914: 397-8).

[11] Kontrak-kontrak yang terjadi antara Palembang dan VOC terjadi pada Tahun 1642, 1662, 1678, 1679, 1681,  1722, 1755, 1763, 1775 dan 1791 (Paulus, 1917: 162).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar