Minggu, 08 Januari 2012

SIMBUR CAHAYA SEBAGAI PEREKAT BUDAYA MASYARAKAT SUMATERA SELATAN


Oleh : Farida[2]

Kebudayaan selalu mengalami dinamika, ada beberapa aspek yang luntur dan hilang, bercampur, menerima pengaruh dari luar, dan berbagai fenomena perubahan lainnya. Secara teoritis perubahan kebudayaan akan sama bentuknya, hanya saja terjadi di berbagai lingkup kebudayaan yang berbeda-beda. Sebagai bahan kajian yang menarik untuk ditelisik adalah nilai-nilai budaya dalam “simbur cahaya” sebagai perekat kebudayaan masyarakat Sumatera selatan yang mengalami transformasi karena berbagai pengaruh unsur kebudayaan luar. Proses perubahan kebudayaan itu terus berlangsung hingga sekarang, sebagaimana juga perkembangan kebudayaan daerah lainnya di Indonesia. Sebagai bagian dari Nusantara yang tengah berubah, provinsi Sumatera Selatan dalam mengembangkan dan membina budaya daerah berakar pada nilai-nilai luhur “Simbur Cahaya”. Untuk itu, dalam rangka membahas persoalan-persoalan sosial, budaya, sejarah dan kemasyarakatan di provinsi Sumatera Selatan sekarang ini, penulis mencoba mengaitkannya dengan nilai-nilai Simbur Cahaya.

Simbur Cahaya adalah undang-undang yang dikeluarkan oleh Ratu Sinuhun, sehingga disebut pula Undang-undang Ratu Sinuhun. Ratu Sinuhun adalah permaisuri dari penguasa Palembang, Pangeran Sidang Kinayan (memerintah 1616-1628). Ratu Sinuhun terkenal sebagai perempuan cerdas. Ia banyak melakukan berbagai hal dalam usaha mengatur pemerintahan dan membuat peraturan bagi penduduk Palembang.  Atas jasa-jasanya undang-undang itu dikenal dan dipakai oleh penduduk kerajaan Palembang. Pada perkembangannya undang-undang ini tetap dipertahankan dalam bentuk hukum adat (“Oendang-oendang Simboer…”, 1892:3).
Undang-undang Simbur Cahaya terdiri dari enam bab yaitu bab I tentang Aturan Bujang Gadis dan Kawin (32 pasal), bab II memuat Aturan Marga (29 pasal), bab III berisi Aturan Dusun dan Berladang (34 pasal), Bab IV tentang Aturan Kaum (19 pasal), dan bab V tentang Adat Perhukuman (58 pasal), serta bab VI tentang Aturan Bahagi Uang Denda (6 pasal). Bab I memuat tentang berbagai hal yang menyangkut hubungan laki-laki dan perempuan khususnya bujang, gadis dan janda yang akan menikah atau menikah kembali bagi janda. Apabila akan memasuki perkawinan harus ada pemberitahuan kepada pasirah atau kepala dusun yang disebut terang, pelanggaran atas hukum tersebut, misalnya melarikan anak gadis akan dikenai denda sebesar tiga ringgit. Denda akan semakin tinggi, apabila terjadi hamil diluar nikah, akan dikenai denda sebesar 12 ringgit, dan wajib dinikahkan dengan mengundang berbagai pihak yang disebut adat terang. Hukuman menjadi semakin berat jika gadis atau janda hamil tanpa diketahui siapa yang harus bertanggung jawab. Dalam kondisi demikian, korban harus di panjing yaitu di rumah pasirah selama maksimal tiga tahun, kecuali keluarga korban sanggup membayar denda sebesar  12 ringgit. Angka-angka yang disebutkan di atas bukan jumlah sedikit untuk ukuran pada waktu itu dan harus ditanggung oleh pihak keluarga pelaku yaitu laki-laki. Bentuk hukuman tersebut membuat orang sangat berhati-hati dalam bertindak yang menyimpang dari norma, karena keluarga pelaku akan dirugikan baik secara materil maupun immaterial (Hanifah, 1994: 1-4).
Hubungan laki-laki dan perempuan sangat terjaga, contohnya laki-laki yang menyenggol gadis atau janda akan dikenai denda sebesar dua ringgit, denda itu naik dua kali lipat apabila laki-laki memegang lengan gadis atau janda. Jumlah yang sama harus dibayarkan oleh bujang jika ia mengelilingi rumah gadis yang ditaksirnya sambil meniup seruling, sedangkan gadis yang ditaksirnya tidak berkenan. Hukuman denda akan semakin tinggi, sesuai dengan tingkat perbuatan yang tidak menyenangkan oleh laki-laki terhadap perempuan hingga mencapai 12 ringgit, bahkan tidak jarang pihak laki-laki harus membayar sebesar 24 ringgit pada istri orang yang dilarikannya (Hanifah, 1994: 5-7).       
Inilah nilai-nilai yang terkandung di dalam Undang-undang simbur Cahaya yang sudah dipakai sejak abad XVII. Undang-undang itu telah mendasari kehidupan sosial masyarakat (Gersen,1876:108) Sumatera Selatan selama sekitar empat ratus tahun hingga sekarang. Meskipun demikian, nilai-nilai itu semakin luntur tergerus oleh zaman. Semakin lama hubungan antara laki-laki dan perempuan khususnya bujang dan gadis semakin bebas. Di kota Palembang, selama beberapa tahun terakhir telah berkembang sebuah fenomena dalam mengekspresikan cinta dengan cara-cara yang dianggap tabu pada masa-masa sebelumnya. Contohnya jalan berdua saling berpegangan tangan, berangkulan ditempat-tempat umum.
Ketentuan lain dari undang-undang tersebut dinyatakan bahwa penduduk dusun bawah pimpinan pasirah (kepala marga) dan krio (kepala dusun) wajib   memelihara jalan-jalan, jembatan, parit, dan lainnya. Orang-orang yang menolak ketentuan tersebut dikenai denda tiga ringgit atau membayar orang untuk menggantikannya. Ketentuan lain adalah perlunya bagi setiap orang yang akan melakukan perjalanan ke daerah lain untuk memegang cap, yaitu cap atau tanda yang dikeluarkan oleh pasirah sebagai bukti atas status orang tersebut. Jika pemegang cap melakukan tindakan tercela, maka pasirah ikut bertanggung jawab atas perbuatan tersebut. Kontrol sosial tersebut sangat efektif untuk memaksa orang tunduk pada ketentuan yang ada. Di samping itu, pasirah juga mengatur berbagai hal lain yang menyangkut kehidupan masyarakat yang berada di bawah pimpinannya. Dengan demikian, Pasirah adalah sosok yang sangat dihormati di marganya, mempermalukan pasirah berarti keluarga besar pelaku penyimpangan akan dikucilkan oleh penduduk di marga tersebut (Hanifah,1994 :1-32).
Nilai-nilai tersebut pada saat ini semakin terkikis, orang-orang akan dengan gampang melakukan tindak kejahatan tanpa ada rasa takut. Hukum positif yang dijalankan belum mampu memaksa penduduk tunduk pada ketentuan tersebut. Peran lurah atau kepala desa sebagai perpanjangan pemerintah, menyebabkan “posisi tinggi” sudah bergeser. Di daerah-daerah kabupaten di Sumatera Selatan, posisi kepala desa menjadi strategis dalam membujuk rakyat agar menyerahkan tanah-tanah atau perkebunan milik mereka untuk dijadikan perkebunan-perkebunan milik pemodal besar. Penduduk juga tergiur ingin mendapatkan uang dengan cara cepat demi memenuhi kepentingan-kepentingan sesaat yang bersifat materi, antara lain membeli alat eletronik, sepeda motor, perhiasan dan lainnya yang bersifat konsumtif.
Pada bagian ini juga adanya larangan keras untuk tidak menebang kayu-kayu yang berkualitas, misalnya klutum, kulim, tembesu, ngerawan. Ketentuan tersebut telah lama hilang, hutan-hutan yang terdapat di Sumatera selatan semakin terkikis. Hutan-hutan ditebangi dengan mesin-mesin yang memudahkan mereka melakukan hal tersebut dalam waktu singkat. Kayu-kayu yang telah ditebangi akan dihanyutkan, dinaikkan di atas motor sungai atau rakit ke ibu kota Palembang melalui sungai-sungai yang banyak terdapat di Sumatera Selatan yang dikenal dengan nama batanghari Sembilan[3]. Agar balok-balok kayu yang dihanyutkan berhasil sampai ibu kota, terjadi transaksi antara pemilik kayu dan polisi air yang menjaga perairan tersebut. Ada istilah yang berkembang di sana yaitu “pengusaha kayu, main kayu”, maksudnya, para pengusaha kayu akan melakukan berbagai cara mulai dari lunak sampai kekerasan sebagaimana “kayu” yang keras demi mencapai tujuannya. Tujuan tersebut adalah mendapatkan hutan, menebang, membawanya ke lokasi penjualan dan memperoleh keuntungan besar dari usahanya tersebut.
Masalah lain yang menonjol di Provinsi Sumatera Selatan adalah sengketa perbatasan, contohnya perbatasan antara Kabupaten Ogan Ilir dan Kabupaten Muara Enim, Kabupaten Musi Banyuasin dan Muara Rawas, juga Kota Palembang dan Kabupaten Ogan Ilir. Masalah itu marak seiring dengan diberlakukannya undang-undang otonomi dan masing-masing daerah berusaha melakukan pemekaran daerah. Seiring dengan pemekaran tersebut muncul pula masalah perbatasan yang selama ini tidak menyeruak kepermukaan. 
Maraknya pembukaan perkebunan dan pabrik-pabrik pengolahan di Sumatera Selatan (sawit, karet, jarak), menimbulkan gesekan dengan penduduk di sekitar lokasi tersebut. Kasus terakhir yang masih marak adalah konflik di desa Sodong Kecamatan Mesuji Kabupaten Ogan Komering Ilir. Konflik itu berawal dari janji yang diberikan oleh PT. SWA (Sumber Wangi Alam) pada 2005-2007 kepada penduduk di sekitar lokasi perkebunan sawit, untuk memberikan saham kepada mereka. Janji itu sampai awal 2011 belum ditepati. Warga menuntut janji-janji tersebut, dan tuntutan itu berakhir dengan konflik yang menyebabkan dua warga terbunuh. Peristiwa itu dibalas oleh warga dengan membunuh lima orang satpam PT. SWA. Konflik ini berlarut, dan pemerintah melibatkan aparat keamanan untuk mengendalikan situasi. Kehadiran dan tindakan aparat keamanan membuat warga ketakutan dan masalah ini sampai sekarang masih terus berlangsung (Wawancara dengan Hendra Jamal, wartawan radio Smart Fm Palembang pada 5 Desember 2011) .
Konflik yang menyangkut tanah, juga tidak dapat dilepaskan dari belum adanya pengakuan “hak Ulayat”[4] dari pemerintah. Pemerintah berpatokan pada ketentuan harus ada surat-surat pengakuan resmi atas tanah yang mereka kelola.
Bab III yang membahas tentang Aturan Dusun dan Berladang. Dusun dipimpin oleh krio atau pembarap, ditiap dusun terdapat pula kemit yaitu kelompok yang terdiri dari dua sampai delapan orang yang bertugas menjaga keamanan dusun selama 24 jam. Kemit yang berhalangan menjalankan tugasnya dikenai denda sebesar satu ringgit, di samping itu, kemit yang bersangkutan juga berkewajiban membayar upah kepada orang yang menggantikannya. Kemit juga dikenakan hukuman panjing (bekerja membantu pekerjaan di rumah pasirah), apabila ia tidak mengetahui ada pencuri masuk ke dalam wilayah tugasnya, atau ada rumah yang dibakar oleh penjahat. Tugas kemit lainnya adalah memeriksa surat pas (sejenis surat keterangan yang dikeluarkan oleh pasirah) setiap orang asing yang masuk ke wilayah tugasnya. Selain itu, orang yang menerima tamu asing tanpa izin dari kemit, dikenai denda sebesar satu sampai empat ringgit. Berbagai ketentuan yang rinci tersebut dan kepatuhan penduduk pada peraturan-peraturan itu menyebabkan keamanan penduduk sangat terjamin. Sekecil apapun peristiwa yang terjadi di tiap dusun dengan cepat akan diketahui oleh kemit. Hal itu tidak terlepas pula dari kecilnya wilayah dan sedikitnya jumlah penduduk yang harus diamankan oleh para kemit.
Dihubungkan dengan kondisi sekarang, kemit yang dimaksud dapat disamakan dengan “petugas jaga” yang dibayar secara swadaya oleh warga setempat. Akan tetapi, sejauh ini ketentuan tentang kewajiban penduduk untuk melaporkan tamu yang datang dan menginap di rumahnya tidak terlaksana. Tidak berjalannya ketentuan tersebut tidak dapat dilepaskan dari tidak adanya peringatan apalagi sanksi dari petugas jaga, ketua rukun tetangga (RT), dan ketua Rukun Warga (RW). Di lain pihak, warga yang menerima tamu juga melakukan hal yang sama. Akibatnya, kurang ada kontrol terhadap orang-orang yang masuk dan keluar dari suatu daerah. Kurangnya kotrol tersebut, menyebabkan maraknya peredaran narkoba di kampung-kampung, dan perkotaan sulit dipantau tanpa adanya keinginan besar untuk menertibkan “tamu-tamu” yang keluar masuk daerah tertentu.
Masalah kebakaran juga menjadi bahasan penting dalam Undang-undang Simbur Cahaya, disebutkan dalam bab III, pasal 13 dan 14 sebagai berikut:
Jika orang punya rumah terbakar sebab kurang jaga, tetapi tiada ada orang lain punya rumah milu (ikut) celaka, maka orang yang punya rumah terbakar  kena denda enam ringgit.
Jika orang punya rumah di dalam dusun terbakar sebab kurang jaga, lantas dusun mutung (terbakar), maka orang itu kena tepung dusun (ganti rugi): kerbau satu, beras 100 gantang, kelapa 100 biji, gula 1 guci. Itulah jadi sedekah kepada orang banyak (Hanifah,1994:14).

Besarnya ganti rugi yang harus dikeluarkan oleh pihak yang terbakar rumahnya, menyebabkan warga sangat berhati-hati. Rumah-rumah di Sumatera Selatan pada waktu itu umumnya terbuat dari kayu dan bertiang. Dengan demikian material tersebut mudah terbakar, namun jarak antarrumah cukup jauh sehingga lebih mudah untuk memadamkan api jika terjadi kebakaran.
Kondisi tersebut bertolak belakang dengan kondisi sekarang. Jarak rumah sangat dekat, khususnya di kota-kota besar di provinsi ini. Rumah-rumah penduduk berhimpitan satu sama lain. Gang-gang yang sempit menyebabkan mobil pemadam kebakaran sulit memadamkan api karena tidak mampu menjangkau lokasi tersebut. Bahkan berkembang kabar bahwa di daerah pemukiman padat penduduk, kebakaran sengaja “diciptakan” atau penanganannya lambat agar lokasi tersebut dapat dimafaatkan untuk membangun pusat perdagangan atau perumahan.
Ketentuan lain dalam Undang-undang Simbur Cahaya, yaitu adanya larangan bagi penduduk yang membuka ladang di pinggir sungai, untuk membuang batang kayu yang sudah ditebang ke sungai. Bagi yang melanggar dikenai denda satu sampai enam ringgit. Warga juga dilarang menjual hasil tanaman yang belum tua atau matang, misalnya: kapas, padi. Ketentuan-ketentuan lain adalah cara membakar lahan agar tidak merugikan pihak lain yang berdekatan, ketentuan memelihara binatang ternak, larangan membunuh ikan dengan racun (putas) dan lain-lain. Setiap pelanggaran dikenai sanksi, umumnya denda uang yang besarnya tergantung dari berat-ringan kesalahan pelaku. Hukuman berat akan dihadapkan langsung kepada raja/sultan. Berbagai ketentuan tersebut sangat besar pengaruhnya terhadap kelestarian hutan, sungai dan produksi tanaman.
Pada masa sekarang hukum positif tidak mampu menekan, apalagi menghapuskan berbagai ketimpangan yang akan merusak Sumber Daya Alam (SDA). Berdasarkan data LSM Walhi Sumatera Selatan diketahui bahwa dalam kurun waktu 1998—2011 terdapat 268 kasus yang menyangkut SDA di sektor kehutanan dan perkebunan. 
 Bab IV memuat ketentuan Aturan Kaum, disebutkan bahwa ditingkat marga, lebay penghulu berwenang mengurus masalah perkawinan, perceraian, waris, zakat, fitrah, memelihara masjid, langgar, keramat (kuburan tokoh), dan mengafani mayat. Lebay Penghulu dalam menajalankan tugasnya dibantu oleh khatib dan kaum. Pasirah dan Lebay Penghulu wajib memelihara anak yatim piatu hingga berusia 14 tahun. Dengan demikian, posisi lebay penghulu dan aparatnya sangat strategis menangani masalah-masalah yang berhubungan dengan agama Islam. Ketentuan memerihara anak yatim, sangat bermanfaat sehingga tidak terdapat anak-anak yang terlantar di wilayah Palembang.
Kondisi tersebut tampaknya tidak banyak berbeda dibandingkan dengan masa sekarang. Masalah yang menyangkut hal-hal di atas ditangani oleh Kantor Urusan Agama (KUA) di tingkat desa-desa. Akan tetapi, masalah anak yatim piatu, penanganannya diserahkan pada keluarga dari anak-anak tersebut. Hal ini dimungkinkan karena biasanya anak-anak yatim piatu diurus oleh keluarga mereka masing-masing, baik dari pihak ayah atau ibu mereka. Di samping itu, sebagian dari mereka ditangani oleh panti-panti asuhan yang umumnya terdapat di kota-kota. Pihak pemerintah juga menyediakan panti sosial bagi anak-anak terlantar, namun keberadaan panti-panti tersebut belum mampu menangani masalah anak-anak yatim, yatim piatu, dan anak-anak terlantar. Akibatnya, tidak jarang sebagian dari mereka berada di jalan-jalan, pasar dan tempat-tempat kumuh menjadi pengemis atau pedagang asongan. Banyaknya anak-anak terlantar menimbulkan masalah sosial berupa perkelahian atau bahkan pembunuhan, pencurian, narkoba, pergaulan bebas dll. Di dusun-dusun Sumatera Selatan tingkat pendidikan penduduk rata-rata tamat SD (lama sekolah 7,6 tahun/2009). Bagi sebagian penduduk yang penting dapat “baca-tulis” karena  sulit bagi mereka ntuk melanjutkan pendidikan ke tingkat SMP. Kecilnya kemungkinan melanjutkan pendidikan, menyebabkan mereka berpatokan “untuk apa sekolah sampai tamat, kan tidak bisa juga melanjutkan sekolah”. Sekolah gratis yang dicanangkan oleh pemerintah, pada pelaksanaannya masih terdapat berbagai pungutan dan mereka juga kesulitan untuk menyediakan seragam dan buku-buku sekolah.
Bab V tentang Adat Perhukuman, dalam bab ini memuat ketentuan tentang berbagai bentuk penyimpangan dan hukumannya, namun terdakwa berhak mengajukan keberatan pada penguasa mulai dari pasirah sampai raja/sultan. Pembunuhan, menyerang dengan senjata, merampok, perkaranya harus diselesaikan oleh raja/sultan. Sementara itu, masalah lain seperti : berkelahi dihalaman rumah sesorang, maka yang berkelahi dikenai denda 2 ringgit-6 ringgit, berkelahi di depan pemilik rumah dan yang bersangkutan tidak berkenan sehingga mengadu pada yang berwenang, maka yang memulai melakukan pemukulan dikenai denda 2 ringgit. Berkelahi di dalam rumah orang, dikenai denda lebih besar yaitu 4 ringgit. Denda itu bertambah 6 sampai 12 ringgit yang harus diserahkan oleh orang-orang yang berkelahi kepada pasirah atau krio. Berkelahi dengan menggunakan senjata tajam, didenda 6 sampai 12 ringgit, ditambah biaya untuk mengobati yang luka akibat senjata tajam tersebut. Denda dan dana yang harus diserahkan oleh pihak yang menyerang sehingga mengakibatkan cacat jauh lebih besar. Orang yang berbicara kasar pada orang lain dan memaki-makinya, maka pelaku harus menyerahkan beras, kepala, ayam satu ekor, dan sirih kepada orang yang dikasarinya. Pencuri di denda dua sampai dua belas ringgit, dan wajib mengembalikan barang-barang yang telah dicuri. Begitu pula jika seseorang menemukan benda tertentu, maka ia harus menyerahkannya kepada kepala dusun dan selanjutnya diumumkan tentang adanya penemuan tersebut. Apabila ada orang terbunuh di dusun tertentu, sedangkan pembunuhnya tidak diketahui, maka kepala dusun harus segera melaporkannya kepada pasirah. Dalam masalah waris, harta menjadi hak dari suami/istri dan anak-anak. Undang-undang Simbur Cahaya memilah berbagai kejahatan dan hukumannya masing-masing, begitu pula dalam hal waris ditetapkan secara adil.
Pada masa sekarang ini, berbagai bentuk kejahatan berkembang sedemikian rupa tanpa memandang tempat. Dengan makin banyaknya jumlah penduduk dan makin sedikitnya lapangan kerja, serta terbatasnya petugas keamanan, menyebabkan penyakit-penyakit sosial berkembang di masyarakat. Orang-orang harus berjuang untuk menyelamatkan diri karena kurangnya perlindungan dari aparat.
Bab VI tentang Aturan Bahagi Uang Denda. Pada bab terakhir ini, ditetapkan berbagai ketentuan yang menyangkut denda. Denda merupakan intrumen terpenting yang ditetapkan dalam Undang-undang Simbur Cahaya, kepada para pelanggar dalam tata kehidupan masyarakat. Selain denda ditetapkan pula hukuman yang disebut dengan istilah panjing. Denda dan panjing menjadi bentuk hukuman yang efektif dalam membina masyarakat agar patuh.
Hukum positif yang diterapkan oleh pemerintah, belum mampu melindungi masyarakat, sehingga bebas dari rasa takut. Ada kecenderungan masing-masing penduduk harus “menyelamatkan” diri dan keluarganya dari berbagai berbagai bentuk kejahatan.

Masalah Aktual
Masalah-masalah aktual dalam masyarakat antara lain ;
1.      Pendidikan, sekolah gratis yang dicanangkan oleh pemerintah provinsi sejak tahun 2008 menimbulkan beberapa ekses, antara lain: sekolah-sekolah sulit mengembangkan diri karena tidak memiliki dana, sedangkan pemerintah melarang pihak sekolah menghimpun dana dari wali murid.
2.      Sebagian sekolah atau guru masih mengutip dana dari siswa, sehingga dikeluhkan oleh para wali murid dengan banyaknya kutipan yang harus dipenuhi oleh para wali murid.
3.      Sebagian wali murid masih mengalami kesulitan membeli buku-buku pelajaran sekolah, apalagi adanya ketentuan harus membeli di koperasi sekolah/guru (penerbit berhubungan langsung dengan guru).
4.      Pada sekolah-sekolah unggulan (tiga sekolah unggulan di kota Palembang), biaya yang ditetapkan tinggi sehingga membebani orang tua murid khususnya yang tidak mampu.
5.      Banyak sekolah yang kurang layak untuk tempat belajar karena banyak mengalami kerusakan.
6.      Penempatan guru kurang merata, guru menumpuk di ibu kota provinsi atau ibu kota kabupaten/kota.
7.      Kurangnya fasilitas pendidikan.
8.      Sebagian guru mengikuti jenjang pendidikan yang lebih tinggi, cenderung hanya mengejar nilai bukan kualitas.
9.      Kurangnya pengayaan yang bersifat lokal, sehingga muatan lokal kurang mencerminkan budaya lokal setempat. Contohnya: muatan lokal diisi dengan pelajaran prakarya, bahasa Arab dll.
10.  Materi sejarah lokal belum diberikan di sekolah-sekolah dari tingkat SD-SMA, dan PT, sehingga murid-murid dan mahasiswa tidak mengenal sejarah Palembang dan Provinsi Sumatera Selatan.

Seni Budaya
Sesuai dengan misi di bidang budaya, maka tujuan yang akan ingin dicapai adalah “mewujudkan daerah yang mempunyai budaya daerah yang kuat dan berakar pada nilai-nilai leluhur yaitu mengembangkan dan melestarikan budaya daerah”. Dari tujuan tersebut sasarannya adalah: “mewujudkan daerah yang mempunyai jati diri sejati yang tidak luntur dengan kemajuan ekonomi dan teknologi, serta pengeruh budaya baru”, dengan sararan yaitu terwujudnya daerah tujuan wisata berbasis warisan budaya leluhur dan sumber daya daerah yang mampu mengangkat harkat, martabat masyarakat.
            Seni tradisional di Sumatera Selatan kurang berkembang, hal itu disebabkan oleh:
1.      Kurangnya perhatian dari pemerintah terhadap seni budaya, sehingga tergilas oleh kemajuan zaman.
2.      Para pejabat yang menangani masalah seni budaya, kurang berkompeten di bidang tersebut sehingga penanganan di bidang ini terkesan asal jalan, belum ada perencanaan yang jelas.
3.      Pemerintah dan DPR kurang peduli terhadap pembinaan seni budaya, terbukti dari minimnya alokasi dana yang dianggarkan untuk seni budaya. Hal itu berbanding terbalik jika dibandingkan dengan dana untuk olah raga atau lainnya.
4.      Kurangnya kesadaran menempatkan seni sebagai bentuk mempertajam tatanan sosial yang mengedepankan idealism berkesenian.
5.      Kurangnya even-even seni tradisional, jika terdapat even-even besar yang digelar di provinsi ini, justru kurang melibatkan  seniman-seniman lokal. Pemerintah lebih memilih untuk menyerahkannya kepada pekerja seni yang kurang memahami filosofi dan makna kesenian Sumatera Selatan. Akibatnya banyak ciri khas yang hilang dan bercampur dengan budaya daerah lain.
6.      Seni tradisional kurang peminat, karena penyajiannya kurang menarik.
7.      Masyarakat cenderung memilih seni kontemporer dan elektrik, karena lebih menarik (semata-mata untuk menghibur), dan dapat diperoleh kapanpun dengan harga murah. Pengaruh globalisasi di bidang seni budaya sangat kuat di kalangan generasi muda (www.trijayafmplg.net).

Bahasa

Di Sumatera Selatan terdata sebanyak 713 bahasa daerah, sebagian kecil sudah punah. Terdapat puluhan bahasa daerah yang aktif digunakan oleh pendukungnya dalam kehidupan sehari-hari. Bahasa-bahasa tersebut antara lain: Bahasa Palembang, Komering, Ogan, Lematang, Musi dll.
            Terdapat dua faktor yang menyebabkan berkurangnya menutur bahasa daerah, yaitu kurangnya rasa percaya diri, jika menggunakan bahasa daerah dalam kehidupan sehari-hari. Faktor lain adalah adanya pengaruh budaya global yang mendesak budaya lokal. Contohnya pada sebagian kalangan menengah di kota Palembang, menggunakan bahasa Indonesia/Jakarta atau bahkan bahasa Inggris dalam percakapan sehari-hari dengan putera-puteri mereka sejak kecil. Hal itu dilakukan dengan alasan “agar anak tidak kagok nanti di sekolah” padahal kedua orang tua tersebut orang asli Palembang. Sementara itu, di ibu kota-ibu kota kabupaten dan kota, sebagian orang tua menggunakan bahasa Palembang bukan bahasa lokal dalam percakapan sehari-hari dengan anak-anak mereka. Jadi, ada perambahan bahasa terhadap kota-kota besar di Sumatera Selatan.  

Pelestarian Peninggalan Kesultanan Palembang

Kesultanan Palembang (abad XVI—XIX) merupakan kesultanan terakhir yang dimiliki oleh Palembang atau Provinsi Sumatera Selatan sekarang ini. Sejak 1825 Kesultanan dihapuskan dan sepenuhnya dikendalikan oleh pemerintah kolonial Belanda. Sampai saat ini masih banyak peninggalan dari masa Kesultanan Palembang yang menjadi asset bagi pemerintah kota dan provinsi. Diantara berbagai peninggalan tersebut[5] tersebut yang terpenting adalah keraton Kuto Besak yang sekarang dikenal dengan nama Benteng Kuto Besak (BKB). Keraton ini didirikan oleh Sultan Muhammad Bahauddin  (1776-1804) pada 1780. Sejak berdiri sampai jatuh ke tangan Belanda pada 1821, keraton ini menjadi keraton terpenting dan terbesar. Sejak dikuasai Belanda, maka keraton digunakan untuk menempatkan barak-barak serdadu, rumah sakit sekaligus sebagai benteng pertahanan, dan dinamai benteng Kuto Besak (Veth, 1869: 656-67). Penamaan inilah yang masih digunakan sampai dengan sekarang. Setelah Indonesia merdeka, bangunan tersebut diambilalih oleh pihak militer dan fungsinya tidak jauh berbeda dibanding pada masa kolonial.
Sejak tahun tujuh puluhan sudah ada usaha-usaha berbagai pihak untuk mengembalikan fungsi keraton dan menjadikannya sebagai asset budaya. Akan tetapi sampai sekarang usaha tersebut belum berhasil. Menjelang PON XVI (2004), pemerintah kota Palembang berhasil merubah kawasan di depan keraton Kuto Besak dan Museum Sultan Mahmud Badaruddin II (dulunya kantor dan kediaman residen Belanda), dari kawasan kumuh menjadi pelataran yang bersih dan indah. Semoga keinginan sebagian besar warga Sumatera Selatan khususnya Palembang agar Benteng Kuto Besak dikelola oleh pemerintah kota/Provinsi, untuk dijadikan sebagai asset budaya yang potensial.   

Kisruh Pewaris Kesultanan Palembang
Berdasarkan musayawarah adat Palembang Darussalam pada 2 Maret 2003, maka ditetapkanlah Raden Muhammad Sjafei Prabu Diradja sebagai Sultan Palembang Darussalam dengan gelar Sultan Mahmud Badaruddin Prabu Diradja. Tiga tahun kemudian (November 2006) muncul sultan lainnya yaitu Sultan Iskandar Mahmud Badaruddin yang dikukuhkan oleh Himpunan Zuriat Kesultanan Palembang Darussalam. Sejak itu kisruh dikedua kubu tidak pernah surut. Sultan Mahmud Badaruddin Prabu Diradja mengkaim bahwa dirinyalah yang berhak menyandang gelar sultan, sesuai nasabnya yang berasal dari Sultan Mahmud Badaruddin II. Di lain pihak Sultan Iskandar Mahmud Badaruddin terus berkiprah mengatasnamakan dirinya sebagai Sultan Palembang Darussalam dan eksis dalam Festival Keraton Nusantara dan acara-acara lain yang berkaitan dengan keraton. Pemerintah kota dan provinsi tampaknya belum berminat untuk mengakhiri kisruh tersebut, sehingga sampai sekarang masalah tersebut terkatung-katung tidak selesai (Wawancara dengan Sultan Mahmud Badaruddin Prabu Diradja, pada 30 Juni 2011, pk 00.14-15.30 di kediaman Bp. SMB Prabu Diradja).  
Yang tersisa dari SEA Games
Dampak Sea Games
Bidang Ekonomi dan Seni Budaya;
·        Terdapat dua lokasi pameran cinderamata yaitu Sriwijaya Expo di Dekranas Jaka Baring yang diselenggarakan oleh Pemprov. Sumsel dan di pelataran Benteng Kuto Besak. Di sana dipamerkan hasil kerajinan dari Sumsel dan daerah-daerah lain di Indonesia. Akan tetapi banyaknya pengunjung tidak sesuai dari yang diharapkan, karena para pengunjung lebih memfokuskan diri pada berbagai arena pertandingan. Faktor lain barang-barang yang dipamerkan kurang menarik pengunjung karena kurang berkualitas, ragam yang ditawarkan tidak terdapat yang baru.
·        Alat transportasi di areal Jaka Baring adalah beca, ternyata para penarik beca sebanyak 120 orang didatangkan dari Kabupaten Ogan Ilir, bukan dari Palembang. Akibatnya menimbulkan kecemburuan para penarik beca dari Palembang.
·        Pada saat menjelang, pelaksaanaan dan setelah penutupan SEA Games, volume keberangkatan dan kedatangan di Bandara Sultan Mahmud Badaruddin II sangat ramai. Dalam kondisi demikian para sopir taxi Palembang justru melakukan demo, karena mereka kalah bersaing dengan taxi Blue Bird (Blue Bird masuk Palembang menjelang pelaksanaan SEA Games) yang menggunakan argo dan armada baru.
·        Pariwisata tidak banyak berpengaruh terhadap peningkatan kunjungan wisatawan ke berbagai objek wisata di Palembang[6], antara lain: wisata air di Sungai Musi, Meseum Sultan Mahmud Badaruddin II, Museum Balaputeradewa, Taman Purbakala Kerajaan Srijaya, Pulo Kemaro, taman wisata Punti Kayu, wisata rohani Kawah Tengkurep, Bukit Siguntang, pelataran BKB, masjid Agung dll. Bahkan kesempatan yang diberikan oleh panitia untuk mengunjungi kapal pesiar yang difungsikan sebagai hotel, tidak dikunjungi oleh wisatawan asing. Penduduk Palembang yang memanfaatkan kesempatan tersebut. 
·        Panitia Inasoc menetapkan beberapa lokasi tempat menginap para atlet disuguhkan kesenian tradisional Sumsel mulai pukul 17.00. akan tetapi mungkin karena kurang komunikasi antara panitia dan tempat penyelenggara (hotel-hotel dan wisma atlet), sehingga tidak ada panggung tempat mereka mempertunjukkan kesenian dari berbagai kabupaten Sumsel. Kondisi serba “apa adanya” tersebut disambut dengan “seadanya” oleh para penonton yang umumnya atlet dan para official. Akibatnya, tujuan panitia untuk mengenalkan budaya lokal belum mencapai sasaran (Wawancara dengan Hendra Jamal dan Nada Nasyaya, wartawan radio Smart Fm pada 5 Desember 2011 pk 00.10-11.30 WIB).
·        Tumbuhnya rasa bangga karena Palembang dan Sumsel dikenal secara nasional dan internasional.
·        Bangga memiliki sarana olah raga yang lengkap.  
·        Hotel-hotel di Palembang tidak mampu menampung para tamu yang datang sehingga harus mendatangkan kapal pesiar yang difungsikan sebagai hotel.
·        Restoran, hasil kerajinan, cinderamata, makanan khas Palembang, transportasi juga merasakan dampak positif dari Sea Games, sehingga perekonomian bergairah.
·        Penduduk Palembang khususnya dan Sumsel umumnya antusias menyambut dan mengikuti dan menghadiri even-even olahraga. Mereka lebih tertarik menonton berbagai cabang olahraga dari pada menonton pameran.
Berbagai bahasan tentang persoalan-persoalan yang menyangkut sosial, budaya, sejarah dan kemasyarakatan di Provinsi Sumatera Selatan[7], hanya merupakan bagian kecil yang dapat dipaparkan pada kesempatan ini. Semoga data ini akan terus bertambah seiring dengan waktu dan usaha untuk melengkapinya.
                                                                                                Sungai Musi, Farida RWD 081211

Daftar Pustaka

Faille,P. Roo de la, Dari Zaman Kesultanan Palembang, Jakarta: Bharatara,     1972.
Gersen, G,H., Oendang-Oendang Of Verzameling van Voorschriften in de Lematang Oeloe en Ilir en de Pasemanlanden, TBG, Jilid XX, 1876.
Hanifah, Abu., Undang-Undang Simbur Cahaya, Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1994.
Veth, P.J., Statisticshe Woordenboek van Nederlandsch Indie, Amsterdam: P.N. van Kampen, 1869.

Internet
www.palembang.go.id

Wawancara

Sultan Mahmud Badaruddin II Prabu Diradja
Hendra Jamal
Nada Nasyaya




[1] Disampaikan dalam acara “Dialog dalam Rangka Persiapan Kongres Kebudayaan” pada 12—14 Desember 2011 di Pontianak Kalimantan Barat.
[2] Dosen FKIP Unsri, Program Studi Pendidikan Sejarah Universitas Sriwijaya.
[3] Batang hari Sembilan terdiri dari Musi, Klingi, Bliti, Lakitan, Rawas, Rupit, Batang Ari Leko, Ogan dan Komering (Falle,1971: 16).
[4] Hak Ulayat adalah hak atas tanah yang dikelola oleh penduduk secara turun-temurun, tetapi tidak ada surat-surat resmi.
[5] Peninggalan Kesultanan Palembang antara lain: Keraton Kuto Besak, Pulo Kemaro (Gombora/Kembara), makam Kawah Tengkurap, Bukit Siguntang, Rumah Kapiten dan Klenteng 10 Ulu, dan Kampung Arab di kawasan seberang Ulu dan Ilir Timur I Palembang.
[6] Kota Palembang menawarkan objek wisata air (Musi River) bagi wisatawan. Pencanangan Palembang sebagai “Kota Wisata Air” pada 27 September 2005 (www.palembang.go.id). Akan tetapi, belum menampakkan hasil sebagaimana yang diharapkan. Menurut pengakuan para tukang ketek (pengemudi perahu bermesin), bahwa selama Sea Games pendapatan mereka tidak meningkat. Penikmat wisata ini justru penduduk local (Wawancara dengan Hendra Jamal, wartawan Smart Fm pada 5 Desember 2011).
[7] Berdasarkan data terakhir (2010) jumlah penduduknya mencapai 6,7 juta jiwa. Tersebar di 145 kecamatan dan 243 desa (www.sumselprov.go.id).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar